MINEWS.ID, JAKARTA – Akhirnya Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam dan Mabes Polri menuding Benny Wenda, pemimpin Free West Papua Campaign (FWPC) sebagai biang aksi massa anarkis di Papua/Papua Barat. Lelaki kelahiran Lembah Baliem 17 Agustus 1974 tahun lalu ternyata dikabarkan sudah sejak lama dikendalikan seorang perempuan Australia cantik yang berprofesi sebagai pengacara hak asasi manusia.
Perempuan bernama Jennifer Robinson itu lahir di sebuah kota kecil bernama Berry di negara bagian New South Wales, Australia 1981.
Meski lahir di Australia, perempuan cantik berambut pirang itu lebih sering pulang pergi Sydney – London karena dia adalah Direktur Hukum Yayasan Bertha yang berkantor ibu kota Inggris dan dosen hukum Universitas Sydney.
Pada 2002, Jennifer menjadi relawan di LSM Hak Asasi Manusia (Elsam) yang berkedudukan di Jakarta. Elsam semula adalah LSM yang berkonsentrasi pada isu-isu HAM di Papua dan Papua Barat. Keberadaan Jennifer di Indonesia pun berakhir ketika bom Bali pertama meledak.
Namun, pengalamannya di Elsam mulai menumbuhkan bibit-bibit keinginan membela Papua hingga saat Wenda membentuk FWPC, Jennifer merasa tertarik bekerja sama. Alasannya latar belakang pendidikannya di Australia National University (ANU) sejalan dengan kegiatan Wenda.
Kerja sama itu dia wujudkan dengan membantu International Lawyers for West Papua (ILWP) atau kumpulan pengacara internasional untuk Papua Barat.
Melalui wadah itu, Jennifer Robinson berambisi membawa kasus Papua Barat ke Mahkamah Internasional. Namun sejauh ini, kegiatan ILWP tidak ubahnya dengan kerja FWPC yaitu berjualan isu dari satu forum ke forum lain. Narasinya hanya satu; “Kekejaman pemerintah dan militer Indonesia terhadap orang Papua.”
Jennifer Robinson pula yang membuat Wenda berhasil mendapat suaka politik di Inggris sejak 2003 dan menjadi tempat tinggalnya hingga kini.
Hingga kini satu-satunya kegiatan ILWP adalah menggelar KTT di Oxford, Inggris 2 Agustus 2011. Tujuan konferensi itu untuk mengumpulkan opini mendukung Papua merdeka.
Namun, BBC London melaporkan KTT itu gagal menyepakati berbagai agenda sebagaimana yang sudah dirancang sebelumnya, karena John Saltford dari AS selaku saksi Pepera 1969 menganggap Act of Free Choice 1969 sudah sah sebagaimana Resolusi PBB 2504.
Menurut Saltford, Resolusi PBB 2504 itu sulit ditentang sebagai kebijakan final. KTT itu juga dilaporkan sepi pengunjung karena hanya dihadiri sekitar 20-an orang dan lebih merupakan forum diskusi, bukan Konferensi Tingkat Tinggi sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan sebelumnya.
Meski selalu gagal mewujudkan keinginan Benny Wenda membentuk negara Papua, namun kebersamaan mereka membuat nama Jennifer Robinson sebagai pengacara internasional terdongkrak.
Maka pada tahun 2010, Jennifer Robinson berhasil menjadi pengacara kunci dan juru bicara tim pembela pendiri Wikileaks, Julian Assange, ketika berjuang melawan permintaan ekstradisi pemerintah Swedia.
Di Inggris, dia berjuang bersama tim Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbins, ketika ada kekuatan partai hendak mendongkelnya.
Dia juga dikenal dekat dengan—bahkan disebut-sebut orang kepercayaan—Amal Clooney, pengacara hukum internasional yang merupakan istri dari artis George Clooney. Perusahaan-perusahaan media terkemuka seperti New York Times, CNN, Associated Press and Bloomberg News pernah menjadi kliennya dalam hal isu kebebasan berbicara.
Menurut guru sekolahnya ketika di sekolah lanjutan, Jennifer dikenal para siswa karena penampilan dan pembawaanya yang manis. Dia bahkan pernah memenangi semacam kontes penampilan di kota kelahirannya pada tahun 2000 dan dianugerahi penghargaan Berry Showgirl.