MATA INDONESIA, JAKARTA – Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono angkat bicara soal sengketa perairan Natuna antara pemerintah Indonesia dengan Cina. Ia menilai setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan persoalan itu.
Dua tantangan yang dimaksud Hendropriyono yakni pertama, untuk menegakkan hukum kita dengan risiko pertempuran di laut sekitar Natuna. “Kedua, untuk mengamankan kepentingan nasional kita dengan menghindarkan risiko perang. Karena itu pemerintah akan memperkuat Bakamla daripada mengerahkan TNI AL,” kata Hendropriyono di Jakarta, Minggu 5 Januari 2020.
Menurut dia, dengan pengerahan TNI AL ke perairan Natuna hanyalah unjuk kekuatan militer. Hal itu perlu dilakukan agar Indonesia tidak diremehkan negara lain.
“Alternatif yang mungkin bisa diambil adalah menyelesaikan setiap konflik terbatas yang terjadi di lapangan, seperti misalnya konflik di perbatasan darat yang pernah terjadi selama ini. Brieffing di kapal perang dan pengerahan TNI AL, diperlukan untuk show of force kekuatan kita saja, agar tidak mudah dilecehkan siapapun,” ujarnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam, Mahfud Md memastikan pemerintah Indonesia tidak akan bernegosiasi dengan pemerintah Cina terkait persoalan perairan Natuna. Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, perairan Natuna merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga tidak perlu negosiasi bilateral.
“Terkait dengan kapal ikan RRT yang dikawal resmi pemerintah Tiongkok di Natuna, prinsipnya begini, Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan Cina,” kata Mahfud.
Pelanggaran memang dilakukan kapal-kapal Cina di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia.