MATA INDONESIA, JAKARTA – Nama eks Jampidsus Adi Toegarisman dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi ikut disebut dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dana hibah KONI. Ia diduga menerima suap Rp 7 miliar dan Achsanul diduga menerima Rp 3 miliar. Kabar ini disampaikan oleh asisten pribadi mantan Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum.
Pakar Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) Rizky Karo Karo mengatakan, apabila kembali ke ajaran hukum pidana tentang conditio sine qua non atau teori sebab-akibat dan untuk membuat terang suatu pengembangan pemeriksaan perkara, maka KPK dapat memanggil dan memeriksa Adi Toegarisman dan Achsanul Qosasi.
Pemanggilan juga bisa dilakukan bagi siapapun yang diduga terlibat, baik sebagai pleger atau pelaku, doen pleger atau yang menyuruh melakukan, medepleger atau yang turut serta membantu dan uitlokker atau orang yang sengaja membujuk.
“Sesuai dengan hukum acara yang berlaku karena berdasarkan UU KPK, KPK memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dan memanggil orang-orang tersebut,” katanya kepada Mata Indonesia, Minggu 17 Mei 2020.
Apabila Adi Toegarisman menerima suap saat masih aktif menjabat dalam bentuk apapun, maka oknum tersebut secara sadar dan sengaja telah melanggar beberapa aturan. Peraturan tersebut adalah UU 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang berkaitan dengan sumpah atau janji profesi, UU Pemberantasan Tipikor, dan Peraturan Jaksa Agung tentang Kode Perilaku Jaksa.
“Dalam melaksanakan tugas profesi Jaksa dilarang ‘meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung,” demikian bunyi Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam regulasi tersebut.
Rizky yakin bahwa penyebutan setiap nama yang terlibat dalam perkara tindak pidana apapun ataupun perkara tindak pidana korupsi siapapun yang disebut maka pasti memiliki dasar. Karena apabila hanya asal bunyi (asbun), maka si penyebut dapat diduga melakukan fitnah atau pencemaran nama baik.
“Atau apabila ia saksi dalam persidangan, maka dapat diduga ia mengucapkan kesaksian palsu dan kesemuanya itu diatur dalam KUHP,” ujar Peneliti di Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi Fakultas Hukum UPH tersebut.
Untuk itu, agar kasus ini terang-benderang dan kebenaran materiil menjadi kuat, maka JPU maupun Advokat perlu mengajukan bukti-bukti yang relevan.
“Minimal 2 alat bukti, saksi-saksi yang relevan, dan bantahan untuk meyakinkan hakim apakah seseorang memiliki kesalahan dan melawan hukum serta pantas untuk diberi vonis penjara/denda/uang pengganti,” katanya.