Ini Cerita Bubarnya Dwitunggal Soekarno-Hatta

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Saat berbicara tentang Presiden Soekarno, pasti kita juga akan ingat dengan sang Wakil Presiden (Wapres), Mohammad Hatta. Keduanya bahkan mempunyai julukan dwitunggal karena peran dan semangat mereka yang tidak bisa dipisahkan serta menjadi simbol pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan.

Walaupun keduanya terlihat seperti tidak bisa dipisahkan, ternyata hubungan mereka tak selalu mesra. Mereka juga pernah terlibat konflik karena perbedaan pendapat.

Keduanya bertemu pertama kali di Bandung saat Soekarno baru saja bebas dari Penjara Sukamiskin dan Hatta baru tiba di tanah air setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda.

Saat itu Soekarno menjabat pemimpin utama Partai Nasional Indonesia, sedangkan Hatta pemimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Kedua partai itu mempunyai cara berbeda untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu kolonialisme.

Soekarno bersama Partai Nasioal Indonesia berpikir untuk memerdekakan Indonesia dengan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.

Sedangkan Hatta bersama Partai Pendidikan Nasional Indonesia berpikir untuk memerdekakan Indonesia dengan mendidik para kadernya agar memiliki kesadaran kewarganegaraan yang kuat, sehingga mampu memperjuangkan hak-hak sipilnya tanpa pengaruh tokoh manapun.

Karena perbedaan pandangan itulah konflik antara keduanya tak terelakkan. Puncaknya adalah keputusan Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wapres pada 1956.

Banyak kalangan yang terheran-heran dengan sikap Bung Hatta tersebut mundur dari jabatan tersebut.

Awalnya Hatta menuliskan surat kepada DPR pada 1955 yang isinya sebagai berikut:
“Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi,” begitu isi surat Bung Hatta.

Mendapati surat itu DPR awalnya menolak keputusan Hatta dengan tidak menanggapi surat tersebut.

Saat itu Hatta dengan tegas berkata, “Sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer.” Namun saat ini pernyataan Hatta tak dihiraukan DPR.

Karena surat itu tak mendapat respon, ia pun mengirim surat kembali pada Jumat 23 November 1956 untuk menanyakan surat yang diberikan sebelumnya.

Karena itu DPR langsung memberlakukan surat itu sebagai suatu yang mendesak, bahkan beberapa rapat maraton berlangsung di Gedung DPR.

Hingga pada 30 November 1956 malam hari DPR sepakat untuk memenuhi permintaah Hatta untuk mengundurkan diri dari posisi wakil kepresidenan. Untuk itu mulai 1 Desember 1956 Hatta bukan lagi menjadi wakil presiden yang telah diembannya selama 11 tahun.

Diketahui Hatta hengkang dari posisi wakil kepresidenan karena Soekarno pada saat itu menerapkan demokrasi terpimpin dengan alasan sistem parlementer tidak bisa menghasilkan kabinet pemerintahan yang stabil.

Namun, Hatta berpendapat gagasan demokrasi terpimpin yang ditawarkan Soekarno jauh dari cita-cita negara demokrasi. Karena sistem demokrasi terpimipin memberi kewenangan yang terlalu berlebihan kepada presiden.

Hatta juga menilai Soekarno menjadi sosok yang feodal dan otoriter dengan kepemimpinanya yang sentralistik itu.

Meski begitu, Soekarno dan Hatta tetap merupakan sepasang sahabat di luar urusan negara dan politik.

Soekarno bahkan sering menyatakan sangat membutuhkan sosok Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia.

“Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia (Hatta) adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia,” demikian salah satu pernyataan Bung Karno.

Keduanya tetap saling mengunjungi jika salah satunya sakit. Persahabatan mereka tetap kekal meski pandangan politiknya bertolak belakang. (Indah Suci Raudlah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Respon Cepat Pemerintah Kunci Keberhasilan Hadapi Karhutla

Oleh: Ricky Rinaldi Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana ekologis yang kerapmenjadi ancaman serius di Indonesia, terutama saat musim kemarau tiba. Namun, tahun 2025 ini, Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengendalikan karhutla berkat respon cepatdari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Keberhasilan ini bukan hanya hasil kebetulan, melainkan buah dari sinergi lintas sektor, kesiapsiagaan, serta kerja kolaboratif antara berbagaielemen seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, Polri, Manggala Agni, damkar, dan masyarakat. Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto, menyampaikan bahwa langkah cepat dan sigapmenjadi kunci utama dalam mengendalikan karhutla sebelum api meluas dan sulit dikendalikan. Ia menekankan pentingnya pemadaman sejak api masih kecil agar tidak berkembang menjadikebakaran besar. Ia juga mengingatkan semua pihak agar tetap waspada menghadapi musimkemarau dan tidak lengah dalam menjaga kesiapsiagaan. Sikap proaktif ini terbukti efektif, seperti yang terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Karhutla yang melanda kawasan perbukitan Harau berhasil dikendalikan meskipunmenghadapi medan geografis yang sulit, yakni bukit terjal berbatu. Hanya sekitar dua hektarelahan yang terbakar berkat kerja cepat tim gabungan. Hal serupa terjadi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, di mana karhutla seluas 10 hektare berhasil ditangani tanpa meluas lebih jauh. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran aktif pemerintah daerah dan tim tanggap darurat di lapangan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini