MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemerintah Indonesia berencana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, yakni di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Pada 17 Agustus 1945, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota negara pertama Indonesia. Namun, pada 4 Januari 1946, ibu kota negara dipindahkan ke Daerah Istimewa Yogyakarta atau ketika Jakarta diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Dalam jurnal yang ditulis oleh Deden Usmaya, Wakidi, dan Syaiful tahun 1948, DI Yogyakarta memiliki peran penting dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga menjadi tujuan utama Agresi Militer Belanda II. Akibatnya, kota ini jatuh ke tangan Belanda.
Dalam sidang kabinet beberapa saat sesudah Yogyakarta diduduki, presiden, wakil presiden, dan Menteri Luar Negeri H Agus Salim mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia atau PDRI di Sumatra Barat.
Kemudian, kepada Dr Soedarsono, LN Palar, dan AA Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, diperintahkan jika usaha Sjafruddin membentuk PDRI tidak berhasil, maka ketiganya diberi kuasa untuk membentuk “Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengasingan”.
Kota Bukit Tinggi dipilih sebagai pusat dan ibukota PDRI karena sudah dipersiapkan pemerintah untuk dijadikan ibu kota pemeritahan apabila terjadi serangan militer Belanda. Dapat dikatakan bahwa pemerintah telah membuat antisipasi yang menduga bahwa Belanda akan melakukan Agresi Militer Belanda II.
Dengan begitu, roda pemerintahan Indonesia akan tetap berjalan meski hanya Pemerintahan Darurat.
Pada 22 Desember 1948 di Halaban, Payakumbuh, Syafruddin mengumumkan susuna kabinet PDRI yang terdiri dari Sjafruddin Prawiranegara (Ketua), TM Hasan (Wakil Ketua), Mr Sutan Moh Rasjid (Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda).
Kemudian Lukman Hakim (Menteri Keuangan/Kehakiman), Ir M Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan), Ir Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran), dan RM Danusubroto sebagai Sekretaris.
Dalam memoar/otobiografi yang terbit pertama kali pada akhir 1970-an dan diterbitkan kembali pada 2010, Mohammad Hatta, menyebut Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden darurat.
PDRI memegang kendali pemerintahan selama 7 bulan yaitu sejak 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 dan pemerintahan dikembalikan kepada Soekarno-Mohammad Hatta. Meskipun singkat, PDRI telah menyelamatkan pemerintahan negara Indonesia dari kehancuran akibat Agresi Militer Belanda II.
Adapun desa-desa yang pernah menjadi pusat pemerintahan PDRI di antaranya, Bidar Alam(Solok Selatan), Koto Tinggi (Limapuluh Kota), dan Sumpur Kudus (sekarang dalam Kabupaten Sijunjung). Pemerintahan darurat itu berakhir 13 Juli 1949, yang ditandai dengan sidang pertama Kabinet Hatta setelah Agresi Militer Belanda II.
Dengan begitu, Tanah Minang mencatatkan sejarah sebagai provinsi penyelamat bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).