ICW Desak KPK Jemput Paksa Lukas Enembe

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe jika yang bersangkutan terus menghindari proses hukum.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menuturkan hal tersebut sejalan dengan Pasal 50 ayat 1 KUHAP yang menyatakan tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.

“Jika Lukas terus menerus mangkir, sudah selayaknya KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa,” ujar Kurnia melalui keterangan tertulis, Kamis 22 September 2022.

Kurnia menilai semestinya Enembe sebagai kepala daerah memberikan contoh baik kepada masyarakat dengan memenuhi panggilan KPK. Pasal 112 KUHAP mengatur seseorang yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka memiliki kewajiban hukum untuk menghadirinya.

KPK telah melayangkan surat panggilan kedua kepada Enembe untuk hadir dalam pemeriksaan pada Senin, 26 September 2022.

Enembe akan diperiksa sebagai tersangka. Namun, pihak penasihat hukum Enembe telah memberi sinyal bahwa kliennya kemungkinan besar tidak menghadiri pemeriksaan karena masih menderita sakit.

Terkait hal ini, Kurnia mengusulkan agar lembaga antirasuah meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) guna memastikan objektivitas keterangan penasihat hukum Enembe. Langkah ini pernah KPK lakukan saat menangani kasus korupsi e-KTP dengan tersangka mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

“Kala itu terbukti bahwa alasan sakit yang diutarakan oleh Setya terlalu mengada-ada. Maka dari itu, penting bagi KPK untuk segera mengulangi tindakan tersebut dalam konteks perkara Lukas,” tutur Kurnia.

Jika Enembe benar sedang menderita sakit, Kurnia menjelaskan bahwa hal itu tidak bisa menghentikan proses penyidikan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, terang dia, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran terhadap Enembe hingga yang bersangkutan layak diproses hukum.

“Sama seperti situasi di atas, pembantaran juga pernah dilakukan KPK saat menangani perkara yang melibatkan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy,” ucap Kurnia.

Lebih lanjut, Kurnia meminta KPK menjerat sejumlah pihak yang terindikasi menghalangi proses hukum yang sedang dilakukan. Dalam hal ini ia menyoroti demonstrasi yang dilakukan oleh simpatisan Enembe.

Menurutnya, KPK bisa menggunakan Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.

“Ada pola yang biasanya digunakan oleh pelaku korupsi untuk menghindar dari proses hukum, salah satunya melalui pengerahan massa untuk menghalangi aparat penegak hukum. Jika itu dilakukan, maka, baik pihak yang memerintah maupun yang diperintah dapat diproses hukum atas sangkaan obstruction of justice,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Tinggal Menunggu Hari, Pengamat Politik Ingatkan 12 Kerawanan Ini

Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November mendatang mendapat sambutan positif, terutama dalam hal efisiensi biaya dan penyelarasan pembangunan. Menurut Yance...
- Advertisement -

Baca berita yang ini