MATA INDONESIA, JAKARTA – Penyebaran wabah corona (Covid-19) ikut membuat masyarakat khawatir sehingga membutuhkan banyak informasi. Di tengah kekhawatiran itu, banyak bertebaran informasi palsu atau hoaks.
Namun untuk sekarang pihak kepolisian dan Kominfo telah menegaskan bahwa pelaku penyebar hoaks atau berita bohong bisa diancam hukuman kurungan hingga enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar karena melanggar UU Informasi dan Transaksi Eletkronik (UU ITE).
Ketentuan ini diatur dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE. Sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain dijerat UU ITE, polisi juga menjerat pelaku hoaks dengan pasal 14 dan 15 UU nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman kurungan maksimal 10 tahun.
Meskipun demikian, pengamat media sosial Enda Nasution mengatakan, harus ada pembedaan antara disinformasi dan misinformasi. “Terutama jika dikaitkan dengan urusan hukum,” ujarnya di Jakarta, Sabtu 4 April 2020.
Informasi palsu yang dibuat dengan sengaja dan bertujuan untuk menimbulkan kerugian bisa disebut disinformasi. Sementara misinformasi adalah penyebaran data, berita yang salah atau tidak akurat tanpa ada niat jahat dan tidak disengaja.
Biasanya misinformasi merupakan kegiatan penyebaran ulang informasi hoaks yang terlanjur sudah beredar di media sosial. Misinformasi juga biasanya terjadi akibat penyampaian informasi dari mulut ke mulut yang memungkinkan penambahan atau pengurangan informasi.
“Contoh, pejabat bilang ada korban meninggal tapi negatif corona. Dua Minggu kemudian ternyata positif, berarti info pertamanya salah. Ini Misinformasi tapi bukan hoaks,” kata Enda.