MATA INDONESIA, JAKARTA – Perlu kerja sama dan koordinasi semua pihak agar unsur masyarakat lain, terutama Polri, tidak selalu bergantung pada perbantuan TNI, sehingga kasus-kasus bentrokan anggota TNI dan Polri tidak terus terjadi.
“Pasca reformasi, TNI dituntut professional dengan fokus ke tugas utamanya, dan mengurangi perannya di masyarakat Sipil. Namun di satu sisi, permintaan perbantuan untuk tugas di luar perang malah meningkat,” ujar Gubernur Lemhannas Agus Widjojo di Jakarta seperti dikutip Mata Indonesia, Selasa 24 Desember 2019.
Hal itu menjadi dilema besar di TNI karena dinilai tentara kita belum profesional akibat memberi perbantuan di luar porsi tugas utamanya.
“Yang salah itu yang meminta bantuan, bukan yang memberi†ujar Agus lagi.
Menurutnya tugas perbantuan TNI harus berdasarkan keputusan politik yang konsekuen, dan DPR harus mengetahuinya, karena DPR lah yang mengontrol peran mereka. Soal benar dan salah tergantung kontrol DPR.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam menilai di Era Reformasi, TNI akan dikembalikan ke fungsi utamanya dan diberi batasan untuk terlibat dalam peran internal sipil.
Namun dalam pemerintahan Jokowi, justru permintaan perbantuan makin meningkat. Hal itu dinilainya akan semakin menjauhkan TNI dari amanat Reformasi.
Choirul menambahkan pembentukan UU perbantuan bisa menyelesaikan masalah tersebut. Dia juga meminta pemerintah mempertegas pertanggungjawaban saat adanya permohonan perbantuan jadi komandonya jelas dan tidak timbul saling lempar tanggung jawab dan saling tindih peran dan wewenang.(Widyo)