MATA INDONESIA, JAKARTA – GameStop baru-baru ini menjadi trending topik pembicaraan di masyarakat, karena berkaitan dengan istilah Goreng Saham. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia juga memiliki banyak kasus Goreng Saham yang meresahkan Negara.
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengidentifikasi adanya 41 saham yang dianggap sebagai Saham Goreng. Volume transaksinya cukup bersar, yaitu berkisar 8,3 persen dari Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) pada 2019 yaitu sebesar Rp 9,1 Triliun. Mereka terus melakukan pemantauan saham-saham goreng dn meminta investor untuk lebih jeli dalam memilih investasi saham.
Bahkan, pada tahun 2020 terjadi kasus Saham Goreng yang menjadi perbincangan hangat kala itu. yaitu kasus PT Asuransi Jiwasraya yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp 13,7 triliun. Kasus ini ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menetapkan 5 tersangkanya. Dua diantaranya adalah investor terkenal di dunia pasar modal, yaitu Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Kasus Jiwasraya terkuak dari Jiwaswara yang mengalami gagal bayar untuk produk JS Saving Plan yang mencapai angka Rp 12,4 triliun. Hal ini menjadi heboh lantaran perusahaan yang tak memiliki dana cadangan. Kemudian Kejagung bekerjasama dengan BPK untuk menguak penyebab utama sengkarut keuangan yaitu salah investasi. Perusahaan dianggap melanggar undang-undang lantaran berinvestasi di banyak saham tidak likuid dengan fundamental yang tidak mumpuni alias saham goreng.
Manajemen lama pada Jiwaswara dinilai telah berinvestasi secara sembrono hingga Saham Goreng dapat masuk ke dalam portofolio investasi perusahaan lantaran dinilai potensi keuntungannya besar. Namun, manajemen lupa memperhitungkan resiko saham gorengan yang tergolong tinggi.
Tidak hanya ksus Jiwasraya, sejumlah BUMN lain juga diduga bermain saham goreng, yaitu PT Asabri dan PT Taspen (Persero). Aktivitas goreng-menggoreng saham ini sampai membuat resah Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena aktivitas ini memakan banyak korban. Tindakan ppara manipulator saham dapat merusak kepercayaan investor di dalam maupun di luar negeri. Padahal pemerintah sudah terus berupaya untuk menjaga kepercayaan para investor.
Terkait hal itu, OJK (Otoritas jasa Keuangan) akhirnya merilis beberapa kebijakan baru terkait pasar modal. Kebijakan baru tersebut diantaranya terkait transparansi, digitalisasi, hingga insentif untuk sektor strategis. Kolaborasi akan terus dibangun dengan berbagai pihak untuk meluncurkan berbagai kebijakan strategis perkembangan pasar modal. Ini sebagai bentuk peningkatan tata kelola yang baik.
OJK mengeluarkan kebijakan untuk wajib menggunakan sistem penawaran efek secara elektronik. OJK juga membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor. Mereka melakukan pengelompokan untuk perusahaan yang melakukan IPO guna mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkan untuk investor ritel.
Reporter : Anggita Ayu Pratiwi