Ferdinand: Gubernur Berhalangan, Presiden Jokowi Perlu Meninjau Posisi Kepala Daerah di Papua

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Permasalahan Papua menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah pusat karena kelompok separatis teroris terus melancarkan aksinya yang membuat kondisi Papua tidak stabil. Maka, pemerintahan terus menyusun langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Pemerintah pun juga mengerahkan pasukan yang terdiri dari TNI dan Polri untuk memberantas kelompok separatis dan teroris Papua (KSTP). Namun, aktivis sosial politik dan pegiat media sosial, Ferdinand Hutahaean menilai pemerintah tidak cukup hanya mengerahkan pasukan ke Papua karena faktor kepala daerah penting untuk menjamin ketertiban di tengah masyarakat.

“Pemerintah tidak cukup hanya mengerahkan pasukan ke Papua, tapi juga harus meninjau kondisi kepemimpinan daerah di Papua. Ini penting karena faktor Kepala Daerah sangat berpengaruh untuk mententramkan kondisi masyarakat,” kata Ferdinand dalam rilisnya, Kamis 27 Mei 2021.

Hal ini mengingat ada kekosongan kepemimpinan di Papua karena Gubernur Papua Lukas Enembe sedang dalam keadaan sakit. Sementara Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal meninggal 21 Mei 2021 lalu.

Maka, Ferdinand mengimbau kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk mengevaluasi kondisi kepemimpinan di Papua.

“Bila memang gubernur berhalangan melaksanakan tugasnya karena kondisi yang terbatas, maka kami sarankan agar Mendagri Pak Tito segera mengusulkan kepada Presiden menunjuk PLT Gubernur dari Putra Daerah untuk memantapkan koordinasi antara aparat dengan Pemda dalam menangani KSTP di Papua,” kata Ferdinand.

Adapun, pernyataan ini menyusul kabar bahwa Gubernur Papua Lukas Enembe tengah dirawat di rumah sakit, Mount Elizabeth, Singapura. Alhasil, pemerintahan di Provinsi Papua masih tetap berjalan namun di bawah pimpinan sekretaris daerah.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini