MATA INDONESIA,LONDON – Ekonomi Inggris tumbuh kurang dari yang diharapkan pada bulan Juli. Hal tersebut tergambar dengan penurunan produksi listrik yang menyebabkan kenaikan tajam dalam tarif energi.
Selain itu, sektor konstruksi juga terkena lonjakan inflasi. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh mencapai 0,2 persen sejak bulan Juni. Sebuah jajak pendapat dari para ekonom menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB dari bulan ke bulan mencapai 0,4 persen sejak bulan Juli.
Kantor Statistik Nasional menjelaskan bahwa “Bukti anekdot menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa tanda perubahan perilaku konsumen dan permintaan yang lebih rendah sebagai respons terhadap kenaikan harga,” dilansir dari Reuters.
Harga listrik melonjak 54 persen dalam 12 bulan terakhir. Lonjakan listrik yang terjadi pekan lalu menyebabkan Perdana Menteri Liz Truss mengumumkan pembatasan tarif energi domestik.
Aturan tersebut mampu mengurangi risiko kelumpuhan ekonomi walaupun Inggris harus mengorbankan biaya sebesar 100 miliar pound.
Bulan Agustus 2022, Bank of England (BoE) memperkirakan bahwa Inggris akan mengalami resesi pada akhit tahun 2022. Mereka juga memperkirakan bahwa Inggris tidak akan bisa keluar dari resesi hingga tahun 2024.
BoE memperkirakan pihaknya akan menaikkan suku bunga lagi pada 22 September 2022 dalam usahanya memerangi inflasi yang sudah mencapai angka 10 persen.
Gelombang panas mungkin menjadi faktor penurunan permintaan listrik, meskipun nampaknya itu juga berkat adanya kunjungan ke kedai es krim,kunjungan ke taman hiburan, dan klub golf.
Output jasa tumbuh sebesar 0,4 persen namun produksi industri turun pada angka 0,3 persen. Sedangkan produk konstruksi turun hingga 0,8 persen. Hal tersebut mencerminkan lonjakan harga bahan material serta hilangnya jam kerja karena cuaca panas.
Angka perdagangan terpisah juga merupakan dampak dari melonjaknya harga dengan nilai impor mencapai titik tertingi sepanjang masa pada bulan juli dan mwakili rekor 21 persen dari semua impor barang.