MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Usai memimpin parade militer di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menegaskan kembali janji untuk mengadakan pemilihan umum. Namun, ia tak spesifik memberikan kerangka waktu.
“Tentara berusaha untuk bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk menjaga demokrasi,” kata Jenderal Min Aung Hlaing itu dalam siaran langsung di televisi pemerintah, menambahkan bahwa pihak berwenang juga berusaha untuk melindungi rakyat dan memulihkan perdamaian di seluruh negeri.
“Tindakan kekerasan yang memengaruhi stabilitas dan keamanan untuk membuat tuntutan tidak pantas,” sambung Min Aung Hlaing yang saat ini memegang tampuk pemerintahan Myanmar, melansir Reuters, Sabtu, 27 Maret 2021.
Pada awal Februari, junta militer melakukan kudeta dan menangkap pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, Presiden terpilih Win Myint, dan sejumlah pejabat partai berkuasa, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Namun, junta militer Myanmar menyangkal bahwa penggulingan pemerintah de facto adalah bentuk kudeta. Mereka mengatakan, tindakan itu dibenarkan karena adanya kecurangan dalam pemilu November tahun lalu –yang sudah ditepis oleh Komisi Pemilu Myanmar.
“Tujuan kami adalah mengadakan pemilihan dan menyerahkan kekuasaan kepada partai pemenang,” kata Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara dewan yang berkuasa dalam konferensi pers pertama militer sejak merebut kekuasaan pada 1 Februari (16/2).
Usai kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari 2021, ratusan ribu warga Myanmar turun ke jalan untuk mengecam kudeta militer, yang menggagalkan transisi tentatif Myanmar menuju demokrasi. Para demonstran juga mendesak militer untuk membebaskan sang peraih Nobel Perdamaian.
Kerusuhan telah menghidupkan kembali ingatan akan pecahnya pertentangan berdarah terhadap hampir setengah abad pemerintahan langsung militer, yang berakhir ketika militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil tahun 2011.
Para pengunjuk rasa di beberapa tempat diikuti oleh biksu Buddha yang memegang lilin, sementara beberapa orang menggunakan lilin untuk membuat bentuk salam protes tiga jari.
Berdasarkan laporan Asosiasi Bantuan untuk Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) jumlah korban meninggal dunia dalam kekacauan sejak kudeta hampir mencapai angka 380.