DPR RI Duga Pemecatan Helmy Yahya Sarat Kepentingan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik TVRI. Rapat ini membahas pemecatan Helmy Yahya dari Direktur Utama (Dirut) TVRI. Namun, hingga akhir rapat tak ditemukan putusan yang tepat soal kisruh yang terjadi dalam televisi nasional ini.

Turut hadir Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin, Anggota Dewas TVRI Supra Wimbarti, Pamungkas Trishadiatmoko, Made Aty Dwie Mahenny, dan Maryuni Kabul Budiono.

Bertindak sebagai pimpinan rapat, Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyahari mengatakan, rapat yang digelar hari ini hanya berkaitan dengan dengar pendapat dari pihak Dewan Pengawas (Dewas) TVRI. Dengan demikian, belum ada kejelasan untuk menyelesaikan kasus tersebut.

“Hari ini kita hanya memanggil dan mendengarkan pendapat dari Dewas. Selanjutnya secara bertahap kita akan memanggil Dewan Direksi, lalu Helmy Yahya dan juga perwakilan dari para karyawan TVRI. Setelah itu baru kita lakukan rapat secara internal,” ujarnya dalam rapat yang digelar di ruang rapat Komisi I, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 21 Januari 2020.

Namun Abdul tak memastikan apakah putusan Dewas yang memecat Helmy secara sepihak sah atau tidak. “Kami tak ada wewenang untuk membantah atau mengklarifikasi putusan dari dewas. Biarlah secara bertahap kita panggil semua pihak agar bisa mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan berimbang. Setelah itu baru kita tentukan sikap,” katanya.

Pernyataan Abdul segera dibantah oleh anggota Komisi I dari Partai PDIP Effendi Simbolon. Ia mengatakan, pemecatan Helmy sebagai Dirut TVRI belum bisa dinyatakan sah karena belum ada putusan yang jelas dan tak ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Helmy.

“Sebaiknya kita abaikan saja pemberhentian Helmy sebagai Dirut. Anggap saja dia saat ini masih menjabat. Saya menyayangkan keputusan ini. Bukankah kalian satu rumah, tapi beda kamar. Cobalah masalah ini dibicarakan secara baik-baik, tak perlu buru-buru lakukan pemecatan. Seharusnya dipertimbangkan atau diberi suspend untuk sementara waktu,” ujarnya.

Effendi pun mengendus ada keanehan di balik pemecatan Helmy. Ia menilai ada sesuatu yang terselubung antara Dewas dan Helmy.

“Dewas kok kelihatannya begitu geramnya pada Helmy. Kenapa? Ada apa sebenarnya? Saya heran kok bisa main pecat-pecat aja, dasar hukumnya apa? Kalau mendengar dari alasan yang disampaikan, saya kira gak ada yang parah-para amat itu. Kok bukan dalam rangka membina, membimbing. Kenapa tidak lakukan langkah yang lebih persuasive, manajerial gitu lho. Kan ada managementnya,” katanya.

“Kalau ada dugaan Helmy lakukan tindak pidana, silahkan laporkan ke Bareskrim misalnya. Bahkan tadi datanya saja berbeda dengan Ibu Supra. Tapi jangan zudzon, diduga atau difitnah begini. Kalau dia ada korupsi, silahkan pilahkan Helmy dari TVRI. Tapi selamatkan TVR-nya karena hanya satau-satunya TV di Indonesia yang pakai RI,” ujarnya.

Ia beralasan bahwa TVRI merupakan salah satu lembaga penyiaran milik negara, maka perlu dijaga dan dikembangkan. “Kita tau sekarang persaingan bisnis sekarang uda sangat busuk ya, perebutan iklan itu. ini saya juga mendorong agar kasus ini dilaporkan ke polisi karena kasus ini tentu ada kepentingan politik, ekonomi, bisnis,” katanya.

“Saya juga heran mengapa saudara Johnny Plate (Menkominfo) membiarkan ini. “Ada apa? Ada kepentingan apa dia? Saya juga ingin mengetahui itu? nanti saat rapat saya akan tanyakan ke dia,” ujarnya lagi.

Menurut Effendi, kisruh dalam internal TVRI adalah masalah serius. Hemat dia dengan menguasai TVRI berarti ikut menguasai media karena tak ada media yang punya infrastruktur yang lengkap seperti TVRI.

“Tv-tv swasta itu hanya gunakan frekuensi secara gratis. Mereka itu lintah darat semua kok. Ini aja UU penyiaran kita juga belum clear,” katanya.

Sebelumnya Dewas mengeluarkan Surat Keputusan (SK) memberhentikan dengan hormat Helmy Yahya sebagal Direktur Utama pada tanggal 16 Januari 2020 lalu.

Menurut Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin mengatakan, keputusan itu diambil berdasarkan kewenangan pihaknya sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI.

Pada pasal 7 PP Nomor 13/2005 menyatakan Dewan Pengawas mempunyai tugas menetapkan kebijakan LPP TVRI, mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran, serta independensi dan netralitas siaran.

Berdasarkan peraturan itu, Arief mengaku pihaknya telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) kepada Helmy Yahya pada tanggal 4 Desember 2019.

Kemudian Helmy menyampaikan surat pembelaan diri kepada Dewan Pengawas pada tanggal 18 Desember 2019.
Hal itu sesuai dalam pasal 24, dimana anggota Dewan Direksi LPP TVRI diangkat dan diberhentikan oleh Dewas. Namun pihak yang diberhentikan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum secara resmi dipecat.

Pada saat itu, Helmy Yahya tidak menjawab atau memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbiaya besar seperti Liga lnggris.

Kemudian pelaksanaan tata tertib administrasi anggaran TVRI, juga terdapat ketaksesuaian pelaksanaan Re-branding TVRI dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan 2019.

Selain itu, adanya mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN.

Helmy juga dinilai melanggar beberapa Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) cfm UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni asas ketidakberpihakan, asas kecermatan dan asas keterbukaan.

Setelah Helmy Yahya diberhentikan, Dewas menunjuk Direktur Teknik TVRI Supriyono menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Dirut TVRI.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Di Era Pemerintahan Presiden Prabowo, Korban Judol Diberikan Perawatan Intensif di RSCM

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat mengumumankan adanya inisiatif baru dalam upaya menangani dampak sosial dan psikologis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini