MINEWS.ID, JAKARTA – Polemik soal penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) menjadi salah satu topik yang hangat. Ada yang menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mensahkan. Namun ada juga yang menilai penerbitan Perppu KPK bukan sebuah keharusan.
Mengenai hal ini, Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ansy Lema sepakat dengan opsi yang kedua. Ia mengatakan bahwa Perppu KPK adalah hak subjektif presiden dan sifatnya sementara saja.
“Berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa sebaiknya mengajukan gugatan atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar keputusannya mengikat dan permanen,†ujar dia dalam keterangan resmi yang diterima pada Sabtu 5 Oktober 2019.
Mantan aktivis 1998 itu juga mengatakan bahwa tidak ada kondisi kegentingan yang memaksa bagi Presiden menerbitkan Perppu KPK. Tidak pula ada kekosongan hukum yang mengharuskan perlu diterbitkan Perppu.
“Saya menilai demonstrasi mahasiswa bukan kondisi kegentingan memaksa. Suara mereka didengar, direspons secara baik oleh Presiden dan DPR.
Presiden dan DPR tidak menutup telinga, justru mendengar suara-suara di ruang publik. Respons itu sudah dibuktikan melalui penundaan pengesahan RUU KHUP, RUU Minerba, RUU PKS dan RUU Pertanahan,†kata dia.
Empat dari lima tuntutan mahasiswa telah dipenuhi Presiden. Bahkan Presiden mengundang mahasiswa untuk berdiskusi, namun ditolak mahasiswa. Itu menunjukan bahwa Presiden dan DPR terbuka terhadap koreksi dan sadar bahwa proses pengambilan keputusan politik bisa keliru.
“Ini yang oleh filsuf Karl Popper disebut konsep falsifikasi (bisa salah) dalam proses pengambilan kebijakan,†ujar Ansy.
Pun Wakil rakyat asal NTT itu mengatakan bahwa Presiden dan DPR sudah mengakui ada prinsip dalam demokrasi. Artinya, keputusan politik bisa salah, maka perlu dikoreksi dan revisi.
Pengakuan akan kesalahan itu membuka ruang bagi koreksi agar produk legislasi menjadi semakin berkualitas dan mampu menjadi engsel bagi kehidupan bernegara.
“Itulah proses dialektika dalam demokrasi kita dewasa ini. Ini bukti kualitas demokrasi kita makin maju karena institusi politik selalu terbuka untuk dikritik dan dikoreksi. Presiden Joko Widodo tidak anti kritik,†kata dia.