Dibanding Serangan Pearl Harbour, Corona Lebih Mengerikan bagi AS

Baca Juga

MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Presiden Amerika Serikat Donald Trump meyakini pandemi corona atau Covid-19 jauh lebih mengerikan dibanding peristiwa penyerangan Pearl Harbour dan tragedi 9/11 di gedung kembar World Trade Center.

Trump berkata, corona telah mengakibatkan 71 ribu orang meninggal di AS, dengan 1,2 juta kasus positif terkonfirmasi. Ini baginya adalah bencana dahsyat.

“Ini lebih buruk dari Pearl Harbor. Ini lebih buruk daripada World Trade Center,” ujar Trump.

Lagi-lagi, Trump masih saja menyalahkan Cina dan menuduh Negeri Tirai Bambu berada di balik penyebaran virus ini.

Menurutnya pandemi itu bisa dihentikan oleh Cina tetapi justru negara itu tidak bisa melakukannya. Pernyataan ini bukan kali pertama bagi Trump melimpahkan kesalahan kepada Beijing atas penyebaran virus corona.

“Kami mengalami serangan terburuk yang pernah kami alami di negara kami. Ini benar-benar serangan terburuk yang pernah kami alami,” kata Trump.

AS adalah negara dengan jumlah infeksi virus corona dan kematian tertinggi di dunia. Laporan terbaru menyatakan penyakit ini telah menginfeksi 3,71 juta orang dan membunuh lebih dari 258 ribu orang di seluruh dunia.

Pearl Harbor adalah pangkalan angkatan laut di dekat Honolulu, Hawaii yang dilanda serangan mendadak oleh pasukan Jepang pada Desember 1941. Pengeboman itu menewaskan 2.403 orang Amerika dan menarik AS ke dalam Perang Dunia II.

Sedangkan serangan teroris 11 September 2001 yang didalangi oleh pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden menyebabkan kematian 2.753 orang. Kelompok itu membajak pesawat komersial dan menabrakan ke World Trade Center New York, sehingga menghancurkan salah satu landmark ikonik kota itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini