MINEWS.ID, JAKARTA – Dandhy Laksono yang baru dilepaskan Polda Metro Jaya tetap berstatus tersangka ujaran kebencian. Dia ternyata memiliki pribadi yang hobi konfrontatif.
Setidaknya itu Editor in Chief Geotimes, Farid Gaban saat membuat “Surat Buat Dandhy Dwi Laksono,” yang dia unggah di laman Geotimes, 11 September 2017.
Farid waktu itu menyalahkan Dandhy membuat ‘Aceh Kita’ yang menyediakan diri sebagai bemper wartawan-wartawan Aceh yang harus disembunyikan saat menuliskan berita. Menurut Farid sebelumnya Dandhy sudah berkerja di stasiun televisi swasta nasional.
“Ngapain kamu mengorbankan karir dan gaji empuk di stasiun televisi swasta nasional hanya karena risau membela orang Aceh. Usil dan kurang kerjaan!” begitu pernyataan satire Gaban kepada Dandhy.
Jika kita menonton “Sexy Killer” buatan Dandhy, memang bisa dimaklumi karena lelaki asal Lumajang tersebut lumayan lama berkecimpung di dunia televisi.
Menurut tulisan Neni Primayanti yang diunggah Kompasiana 12 Desember 2013, Dandhy digambarkan sebagai orang yang selalu konfrontatif dengan penguasa.
Menurut Neni, Dandhy yang awal karirnya bekerja di sebuah radio swasta diajak jurnalis televisi Bayu Sutiyono bergabung di SCTV. Dia langsung menjabat produser program.
Namun baru satu tahun berkarir, Dandhy dipecat pada 13 Juni 2003 karena menayangkan wawancara dengan penguasa darurat militer Aceh dan korban-korban daerah operasi militer (DOM) masa itu. Tayangan itu disiarkan pada 21 Mei 2003.
Tidak terima dipecat Dandhy membawa masalah itu ke ranah hukum dan menggugat Karni Ilyas yang saat itu menjabat Pemimpin Redaksi SCTV.
Setelah dipecat SCTV, RCTI memberikannya kesempatan bekerja namun setelah keluar dari sinipun lulusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran itu dinilai Neni meninggalkan kesan negatif.
Menurut Neni, Dhandy ternyata seorang pendendam, dia berusaha terus mencari – cari kesalahan RCTI. Hal itu diawali dengan penyerangan program iklan “Kuis Kebangsaan Win – HT†sampai pada pemberitaan RCTI Peduli Korban Sinabung.