MATA INDONESIA, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps dari level 6,00 persen ke level 5,75 persen. Hal ini dinilai akan berpengaruh atas kredit perbankan terutam bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, proses transmisi penurunan suku bunga acuan ke suku bunga kredit biasanya memerlukan waktu 3 sampai 5 bulan.
“Jadi untuk melihat efek khususnya ke KPR diperlukan waktu selama itu,” ujar Yusuf kepada Mata Indonesia News, baru-baru ini.
Ia juga melihat bahwa permintaan akan KPR masih cukup prospektif. Hal ini terkonfirmasi dari data pertumbuhan penyaluran KPR pada rilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang pada sampai Maret 2019 (data tersedia terakhir), pertumbuhannya mencapai 213%.
“Artinya permintaan untuk KPR berpotensi masih akan meningkat,” katanya.
Yusuf juga menganjurkan agar pemerintah bersama BI dan sejumlah lembaga terkait perlu bersinergi untuk menjaga stabilitas inflasi, daya beli masyarakat, kinerja ekspor-impor dan penanaman modal di tanah air.
Untuk langkah strategis tidak semuanya menjadi tupoksi BI. Seperti misalnya soal inflasi pangan. Hal ini bisa disebabkan oleh ketersediaan bahan pangan di dalam negeri, dalam hal ini merupakan tanggung jawab beberapa kementerian seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan) ataupun Bulog.
Daya beli pun demikian. BI dalam hal mendukung daya beli bisa dilakukan dengan menurunkan suku bunga dan juga menurunkan Giro Wajib Minimun (GWM) bank umum. Dengan GWM yang diturunkan, bank diharapkan bisa lebih leluasa dalam mengelola bisnis.
Selain itu instrumen Loan to Value (LTV) juga biasa digunakan oleh BI untuk mendorong daya beli, dengan pelonggaran ini masyrakat juga bisa lebih leluasa dalam mengajuka pinjaman.
Pada ekspor-impor, Yusuf menilainya sebagai tanggung jawab utama Kemendag. Sementara BI hanya membantu dengan menjaga nilai tukar rupiah berada di range yang aman.
“Begitu pun dengan Penanaman Modal Asing yang lebih banyak merupakan tanggung jawab Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). “Intinya untuk kebijakan harus ada kordinasi diantara lembaga pemerintah,” kata dia. (Krisantus de Rosari Binsasi)