MINEWS.ID, JAKARTA – Menjelang pemilihan umum serentak tahun ini bukan hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mendadak kebanjiran pekerjaan. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga tak kalah sibuknya menghadapi serangan siber menjelang Pemilu.
Awal tahun ini, BSSN menemukan serangan siber lebih dari 220 juta yang di dalamnya termasuk lembaga pemerintahan. Itu lah hal yang menyibukkan badan tersebut awal tahun ini.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi pun sibuk mengungkapkan kondisi itu kepada aparatur pemerintah di seluruh Indonesia dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kewaspadaan Nasional dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2019.
Dalam sejumlah rapat yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia itu, Djoko mengungkapkan jenis-jenis ancaman serangan siber yang berpotensi terjadi pada Pemilu 2019.
Jenis-jenis serangan itu adalah hack, leak, dan amplify. Ancaman hack bisa berupa pembuatan laman web palsu untuk menipu target, dan metode peretasan lainnya. Tujuannya untuk mengganggu infrastruktur yang digunakan dalam pemilu ini.
Sedangkan, leak atau pembocoran informasi memiliki karakteristik berupa micro-targeting, dengan menyasar peserta pemilu tertentu.
Misalnya dengan cara menargetkan data peserta ataupun konstituen pemilu. Data atau informasi peserta yang bersifat privat dicuri dan dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Sedangkan amplify merupakan serangan untuk memviralkan informasi yang didapatkan melalui jenis serangan sebelumnya. Djoko menuturkan serangan tersebut dapat dikatakan sebagai kampanye hitam atau black campaign.
Untuk itu, BSSN memiliki tiga strategi yang akan dilaksanakan dengan simultan. Pertama, menguatkan keamanan aplikasi pemilu. Kedua, menguatkan infrastruktur teknologi informasi KPU.
Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah mengedukasi dan memberikan literasi pihak-pihak yang terlibat langsung pada pemilu dan masyarakat
Bukan hanya mengingatkan aparatur pemerintah, Maret lalu BSSN juga mengundang pengelola Facebook dan Twitter untuk melakukan koordinasi di bidang siber agar bisa menciptakan situasi dunia maya yang kondusif.
BSSN meminta penyedia platform media sosial ikut bertanggung jawab terhadap masifnya penyebaran hoaxs yang dinilai mengganggu keamanan nasional. Sayang saat itu hanya perwakilan Twitter yang hadir.
Sayangnya BSSN baru bisa melakukan koordinasi untuk menghalau serangan di dunia maya tersebut.
Saat ini menurut Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo Indonesia kekurangan sensor pendeteksi serangan siber.
Dari 34 provinsi, badan itu baru memasang enam sensor atau setara dengan 21 sensor aktif.
Padahal Taiwan yang negaranya jauh lebih kecil, memiliki 6000 sensor. Akibatnya saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua dengan jumlah serangan terbanyak yaitu 40.562 serangan selama satu bulan.
Itu menjadi pekerjaan rumah bagi BSSN, sehingga dunia maya di negeri ini benar-benar aman dari serangan siber.