MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebelum bongkahan es A68a kembali pecah, pada Desember 2020 para ilmuwan tengah meneliti dampak dari pergerakan bongkahan es raksasa dengan luas 4 ribu kilometer persegi itu atau berukuran lebih besar dari Negara Luksemburg.
A68a ini terlepas dari lapisan es Larsen C di semenanjung Antartika pada Juli 2017 dan perlahan-lahan bergerak menuju laut terbuka selama lebih dari dua tahun hingga menghantam arus perairan Sirkumpolar Antartika dan hingga desember 2020 bongkahan itu bergerak ke utara menuju Pulau Georgia Selatan di Samudra Atlantik Selatan.
Karena ukurannya yang sangat besar, jika terus bergerak ke perairan Pulau Georgia yang dangkal, bongkahan es ini dapat menyebabkan bencana lingkungan yang sangat besar. Bongkahan es tersebut dapat merusak dasar laut yang dihuni banyak moluska, krustasea, karang, dan mahluk hidup lainnya.
Menurut Geraint Tarling, Guru Besar Biologi Lauit di Badan Survei Antartika Inggris (BAS), bongkahan es ini diperkirakan akan tetap berada di perairan Pulau Georgia Selatan hingga sekitar 10 tahun dan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Sebetulnya ini merupakan fenomena yang umum, namun belum ada bongkahan es yang sangat besar bergerak ke arah pulau.
“Kami mengharapkan bongkahan es ini pecah di lautan terbuka karena gelomban arus dan turbulensi,” Ujar Geraint. Tapi nyatanya A68a justru terus bergerak menuju Pulau Georgia Selatan, wilayah luar Inggris di Antlatika Selatan.
Selain mengganggu ekosistem Pulau Georgia, bongkahan es ini juga dapat menutupi area sumber krill. Itu artinya para penguin dan anjing laut yang berada di sana akan kesulitan mendapatkan makanan. Berbeda dengan ikan paus yang dapat mencari makanan di tempat jauh, penguin, dan anjing laut hanya dapat mengandalkan sumber makanan di sekitar mereka. Selain itu terdapat 2 juta penguin di pulau tersebut, termasuk Penguin Raja, Gentoos, Macaronis, dan Chinstraps
Untuk itu, setelah melakukan karantina untuk memastikan tidak positif Covid-19. Para peneliti dari BAS berencana melakukan perjalanan selama tiga hari dengan kapal RSS James Cook untuk mendekati bongkahan es dan menilai lebih lanjut dampak dari bongkahan es tersebut dan meneliti binatang di perairan sekitar bongkahan es.
Dua kapal selam robot dikerahkan untuk mengukur temperatur, tingkat keasinan dan jumlah kandungan pitoplanktonnya. Bongkahan es tersebut dapat pecah berkeping-keping akibat erosi di bagian bawah bongkahan es karena ia berada pada perairan yang lebih hangat.
“Jika ini berlangsung maka tkanan dari atas dan gabungan dari terjadinya keretakan bisa membuat bongkahan pecah menjadi ribun keping dan menyebar ke lautan,” ujar Profesor Ted Scambos dari Universitas Colorado, Amerika Serikat.
Skenario terburuk saat itu adalah bongkahan ini tidak dapat kemana-mana selama bertahun-tahun dan mengganggu ekosistem lingkungan di sekitarnya. Sebelum akhirnya sekarang bongkahan itu kembali pecah dan meredakan kekhawatiran para ilmuwan.
Reporter : Anggita Ayu Pratiwi