BI Sebut Ekonomi Indonesia Super Baik Saat dan Pasca Kerusuhan, Ini Buktinya

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan kepercayaan investor asing kepada Indonesia masih tinggi. Padahal ada kerusuhan selama dua hari.

Menurut Perry buktinya dalam tiga hari terakhir aliran modal asing masuk Indonesia totalnya mencapai Rp 3,6 triliun. Semuanya melalui instrumen surat berharga negara (SBN).

“Mengenai arus inflow asing SBN satu hari kemarin Rp 1,75 triliun dalam satu hari kemarin, net beli asing ke SBN,” kata Perry di kantornya, Jum’at 24 Mei 2019.

Sementara, pada Selasa saat kerusuhan terjadi dana masuk mencapai Rp 1,5 tiliun, sedangkan Rabunya senilai Rp 0,3 trililun. Totalnya Rp 3,6 triliun.

Indikator ekonomi lainnya yaitu nilai tukar rupiah juga terus membaik tiga hari terakhir. Kamis 23 Mei 2019 nilai tukar menguat dan ditutup ke angka Rp 14.455.

Sedangkan penutupan pada Rabu di angka Rp 14.520 per dolar AS. Jum’at 24 Mei 2019 rupiah menunjukkan trend menguat dengan dibuka pada angka Rp 14.440 per dolar AS.

Menurut Perry tanda-tanda itu menunjukkan pasar uang, pasar valas itu bergerak dan berjalan normal.

Selain itu pengusaha khususnya eksportir dan kawan perbankan juga aktif di dalam pasar valas, sehingga mendukung pergerakan nilai tukar yang stabil dan mengalami penguatan.

Dia juga memastikan BI akan terus berada di pasar dan akan melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai fundamental apabila diperlukan, baik melalui intervensi di valas maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini