MATA INDONESIA, BEIJING – Setiap dekade atau lebih, sistem politik Cina direnggut oleh perubahan.
Pembantaian Tianamen tahun 1989 atau penghancuran brutal gerakan spiritual Falun Gong pada tahun 1999.
Sebaliknya, tahun ini tampaknya Cina sedang sepi kontroversi.
Belum lama ini muncul berita bahwa Xi Jinping digulingkan oleh perdana menterinya Li Keqiang. Bahkan beritanya ia berada di bawah tekanan orang-orang yang muak dengan strateginya dalam menyelesaikan masalah pandemi covid-19.
Namun, hal tersebut ternyata hanyalah retakan yang relatif kecil untuk pemerintahan Xi Jinping.
Namun 2022 sebenarnya menandai pergolakan besar dalam politik Tiongkok, yang akan kita rasakan beberapa tahun mendatang.
Ini akan datang dalam bentuk bentrokan negara-negara demokratis mengenai kebijakan luar negeri.
Terutama terjadinya pertumbuhan ekonomi yang lambat dan ketidakpastian politik.
Pergolakan ini tidak didorong oleh serangan terhadap XI tetapi oleh tidakan Xi sendiri..
Pengambilan masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya, menghancurkan sistem yang diberlakukan satu generasi sebelumya.
Di bawah XI, Cina mulai memproyeksikan kekuatan di luar perbatasannya.
Di bawah pengawasannya, Cina secara besar-besar membangun kehadiran militernyadi Laut Cina Selatan, membangun pangkalan militer di Asia Selatan dan Afrika
Ia juga mengintruksikan para diplomatnya untuk menggunakan bahasa yang sangat blak-blakan dan agresif dalam berurusan dengan negara lain.
Di bawah pemerintahan Cina terlihat sangat stabil, namun ini tidak menjamin Cina di masa depan.
Sebagian besar analis percaya dia akan memerintah hingga jabatan keempatnya.
semakin mempererat cengkeramannya, lingkaran teman dan penasihatnya pasti akan menyusut, demikian juga kemampuannya untuk memproses informasi baru dan ide-ide baru.
Hal ini terlihat dalam keputusan pemerintahan Xi untuk secara membabi buta mengikuti kebijakan “nol-COVID”, meskipun ada banyak bukti bahwa itu sekarang kontra-produktif.