MATA INDONESIA, JAKARTA – Kebijakan pemotongan maksimal 75 persen gaji pemain di tengah pandemi Covid-19 yang diterapkan PSSI mendapat kritikan keras dari Federasi Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro).
Pasalnya, kebijakan itu diterapkan PSSI, tanpa berdiskusi sebelumnya dengan Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI).
“PSSI mengintervensi hubungan kerja pemain tanpa keinginan untuk mengundang serikat pesepak bola ke meja perundingan,” ujar Direktur Legal FIFPro Roy Vermeer dalam keterangan resminya, Jumat 22 Mei 2020.
Ia berkata, FIFPro, FIFA dan AFC sudah tegas memberi tahu ke semua federasi, termasuk PSSI, agar bekerja sama dengan klub dan pemain untuk mengatasi dampak dari pandemi corona.
Namun, Vermeer menyebut, PSSI justru dianggap tidak berkomunikasi dengan para pemain melalui perwakilannya APPI.
Sebelumnya, pada 27 Maret 2020 lalu, PSSI menerbitkan Surat Keputusan (SK) bernomor SKEP/48/III/2020 yang salah satunya berisi, mempersilakan klub-klub Liga 1 dan 2 untuk menggaji pemainnya maksimal 25 persen pada bulan Maret sampai Juni 2020 dari gaji yang tertera di kontrak di tengah jeda kompetisi akibat pandemi penyakit virus corona.
PSSI menetapkan bahwa bulan Maret, April, Mei dan Juni 2020 menjadi keadaan kahar (force majeure).
Dalam pelaksanaannya, FIFPro menemukan fakta bahwa sejak April 2020, tidak ada satu pun klub Liga 1 yang membayar pemainnya lebih dari 25 persen, bahkan ada dua tim yang hanya memberikan 10 persen dari gaji normal kepada pemainnya. Sementara di Liga 2, seluruh atau 24 tim membayar penghasilan pemain antara 10 dan 15 persen dari kesepakatan.
Kemudian, para pemain mendapatkan gaji sekitar 200 dolar AS atau sekitar Rp 2,9 juta perbulan sebelum ada pemangkasan akibat pandemi. Itu dianggap berada di bawah upah minimum regional yakni 300 dolar AS (Rp 4,4 juta).
Setelah keluar kebijakan pemotongan dari PSSI akibat pandemi, pemain Liga 2 hanya mendapatkan 50 dolar AS (sekitar Rp 737 ribu) dan nilai itu hanya 17 persen dari upah minimum.
“Fakta bahwa keputusan PSSI berlaku sejak Maret menunjukkan bahwa PSSI tidak peduli dengan standar internasional, apalagi soal kesejahteraan pemain di Indonesia,” ujar Roy Vermeer.