MATA INDONESIA, MANILA – Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana mengatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara ASEAN) sudah selayaknya bersikap netral, dengan tidak memilih antara Amerika Serikat atau Cina. Ia juga prihatin mengenai Undang-Undang baru Beijing yang mengizinkan penjaga pantainya menembaki apa yang dianggap sebagai ancaman.
“Saya memberi tahu (Llyod) Austin bahwa kami tidak ingin ada kesalahan perhitungan atau kecelakaan di Laut Cina Selatan karena kami berada tepat di tengah konflik,” kata Lorenzana.
Menhan Filipina kemudian mengungkapkan, Manila ingin mempertahankan Perjanjian Pasukan Kunjungan (VFA) dengan Amerika Serikat, ketika para pejabat kedua negara bertemu guna menyelesaikan perbedaan atas pakta yang menjadi inti strategi AS di Asia.
Pertemuan di Manila antara pejabat AS dan Filipina terjadi setelah Presiden Rodrigo Duterte – yang dengan terbuka tidak menyetujui aliansi AS, secara sepihak membatalkan VFA yang telah berusia dua dekade pada tahun lalu. Ini merupakan respons atas penolakan Paman Sam terhadap visanya.
Bertolak belakang dengan sang presiden, Menteri Pertahanan Filipina justru sebaliknya. Periode penarikan bahkan telah diperpanjang sebanyak dua kali, demi menciptakan apa yang dikatakan pejabat Filipina sebagai jendela untuk kesepakatan yang lebih baik.
“Kami di departemen pertahanan dan angkatan bersenjata, perasaan umumnya adalah agar VFA terus berlanjut,” kata Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana kepada saluran berita ANC, melansir Reuters, Kamis, 11 Februari 2021.
Ini merupakan pertemuan pertama di bawah pemerintahan Presiden AS Joe Biden, yang telah menegaskan kembali aliansi tersebut dalam menghadapi meningkatnya ancaman Cina di Laut Cina Selatan.
Lorenzana mengatakan VFA – yang menetapkan aturan untuk tentara AS yang beroperasi di Filipina, sangat penting dalam meningkatkan kemampuan pasukan Filipina yang kekurangan sumber daya melalui serangkaian latihan tahunan bersa
Hubungan antara AS dan Filipina menjadi rumit sejak naiknya Duterte ke tampuk kekuasaan tahun 2016. Belum lagi soal kebijakan luar negerinya yang mengecam AS sementara “memeluk” Beijing.