MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebanyak sembilan negara yang tergabung dalam Organisasi Negara-Negara Asia Tengagra (ASEAN) mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menolak usulan embargo atau pembekuan penjualan senjata ke Myanmar.
Melansir Reuters, Jumat, 28 Mei 2021, seorang diplomat Liechtenstein mengatakan bahwa sembilan negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menulis surat kepada negara-negara yang mendukung rancangan resolusi Majelis Umum PBB tentang embargo senjata ke Myanmar.
Resolusi tersebut dirancang sebagai tanggapan atas kudeta yang dilakukan oleh junta Myanmar pada awal 2021. Untuk informasi, resolusi tersebut dibuat berdasarkan permintaan Liechtenstein yang mendapat dukungan dari 48 negara.
Adapun kudeta menyebabkan pecahnya aksi demonstrasi di setiap penjuru negeri. Lebih dari 800 warga sipil dilaporkan tewas di tangan aparat keamanan Myanmar, berdasarkan laporan Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP). Sementara ribuan orang ditahan, termasuk di dalamnya influencer, aktivis, mahasiswa, aktor, pelaku seni, hingga jurnalis.
ASEAN memimpin upaya diplomatik untuk mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar –negara yang berbatasan dengan Thailand dan India, dan mempromosikan dialog antara junta militer dengan lawan-lawannya.
Pemungutan suara yang direncanakan pada resolusi tidak mengikat oleh Majelis Umum PBB ditangguhkan pekan lalu, dengan beberapa diplomat mengatakan penundaan itu untuk menggalang lebih banyak dukungan.
Sebagaimana diketahui bahwa Majelis Umum PBB mengajukan resolusi yang mendesak terkait penghentian berbagai kerja sama penjualan senjata kepada junta militer Myanmar. Akan tetapi, draf yang seharusnya dibahas pada Selasa (18/5), harus ditunda demi mendapat dukungan lebih banyak dari 193 negara anggota Majelis Umum PBB.
Selain soal senjata, dalam draf rancangan resolusi itu juga mendesak militer Myanmar mencabut status darurat militer, menghentikan kekerasan terhadap aksi unjuk rasa damai, mendesak militer Myanmar berhenti menyerang, serta tidak lagi melecehkan dan melarang tenaga kesehatan.
Lebih lanjut, junta militer didesak untuk membebaskan aktivis hak asasi manusia, anggota serikat buruh dan awak media dalam melaksanakan tugas, serta mencabut pembatasan akses internet dan media sosial.