MATA INDONESIA, PARIS – Presiden Emmanuel Macron menjadi kepala negara di Prancis yang menghadiri acara yang peringatan pembantaian pengunjuk rasa damai kemerdekaan Aljazair oleh polisi Prancis pada 60 tahun lalu.
Pembunuhan massal ini merupakan sebuah sejarah brutal yang oleh banyak sejarawan dianggap sebagai represi paling kejam dari demonstrasi damai di Eropa Barat. Dan peringatakan ini acapkali diabaikan oleh para pejabat Prancis selama beberapa dekade.
Meskipun korban tewas sekarang diperkirakan mencapai 200 orang, pihak berwenang Prancis menghindari menyebutkan jumlah pasti mereka yang terbunuh sampai Presiden François Hollande mengakuinya pada Oktober 2012.
Pada peringatan tersebut, Macron mengatakan bahwa itu adalah kejahatan tak termaafkan. Meski mengakui pembataian tersebut, Macron tetap tidak meminta maaf atau mengumumkan komisi atas apa yang terjadi dan tidak ada kompensasi.
Pernyataan Macron menjadi pengakuan terkuat oleh seorang Presiden Prancis atas pembantaian di mana banyak mayat dibuang ke Sungai Seine. Namun, para kritikus mengatakan langkah itu tidak cukup membayar kematian para demonstran damai Aljazair.
Dalam serangkaian pernyataan di akun Twitter, jurnalis Aljazair Khadija Benguenna, menyebut peristiwa yang terjadi pada 16 Oktober 1961 sebagai salah satu pembantaian genosida paling mengerikan terhadap warga Aljazair yang melakukan demonstrasi damai di Paris.
Khadijah, yang memiliki lebih dari 1,2 juta pengikut Twitter dan dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia Arab, mengatakan pengakuan Macron atas pembantaian itu tidak cukup.
“Jumlah orang yang terbunuh dengan menembak dan dilemparkan ke Sungai Seine tetap menjadi rahasia negara hingga hari ini, dan permintaan maaf masih jauh dari harapan,” tulis Khadijah, melansir TRT World, Minggu, 17 Oktober 2021.
Pada 17 Oktober 1961, di bawah perintah kepala polisi Paris saat itu Maurice Papon, polisi menyerang demonstrasi oleh 25 ribu pendukung Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair yang memprotes jam malam yang diberlakukan di Aljazair.
“Pawai itu ditekan secara brutal, keras dan berdarah,” kata kantor Macron dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa sekitar 12 ribu warga Aljazair ditangkap, banyak dari mereka terluka dan puluhan orang meninggal dunia.
Macron menghadiri upacara peringatan pembantaian ini di jembatan di Bezons, barat Paris, tempat beberapa warga Aljazair memulai pawai mereka dan di mana banyak mayat ditemukan dari Sungai Seine.
“Dia mengakui fakta: kejahatan yang dilakukan malam itu di bawah otoritas Maurice Papon tidak dapat dimaafkan untuk Republik,” kata pernyataan Istana Elysee.
Pembantaian yang terjadi selama perang melawan kekuasaan Prancis di Aljazair, telah lama disangkal atau disembunyikan oleh otoritas Prancis. Jumlah pasti korban tidak pernah ditetapkan, namun sejarawan menyebutkan lebih dari 200 orang tewas.
Peringatan pertama acara tersebut diselenggarakan tahun 2001 oleh walikota Paris. Sementara tahun ini, peringatan tersebut berlangsung di tengah ketegangan diplomatik antara Paris dan Aljazair.
“Macron mengakui, tanpa mengakuinya dan meminta maaf atas nama negara, atas salah satu kejahatan Prancis yang terjadi pada 17 Oktober 1961, ketika polisi Prancis menembaki demonstran Aljazair di Paris. Dia tidak mengakui atau memaafkan kejahatan perang, lanjut,” tulis pengguna Twitter asal Aljazier menanggapi pernyataan Macron.