Minews.id, Kota Kupang – Proyek pengembangan geotermal di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang digadang-gadang sebagai solusi energi terbarukan ini sebenarnya merupakan bentuk pengaplikasian kebijakan dari pemerintah sebelumnya. Dan perlu diingat bahwa penetapan Flores sebagai pulau panas bumi sejak 2017 oleh Kementerian ESDM adalah bagian dari upaya pemerintah mendukung sektor pariwisata. Hal ini diungkapkan oleh Yonatan Hans Luter Lopo, Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undana, kepada Minews.id melalui pesan suara pada Rabu, 16 Juli 2025.
“Geotermal ini sebagai sistem pendukung terhadap kebutuhan pariwisata dan bahwa listrik yang dihasilkan dari geotermal dimaksudkan untuk menopang industri pariwisata,” ujarnya.
Lopo pun mengingatkan kembali akar kebijakan ini, yaitu Master Plan Pembangunan Ekonomi yang digagas pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekitar tahun 2011, dan kemudian ditetapkan melalui Perpres Nomor 48 Tahun 2014. Dalam master plan tersebut, wilayah NTT, NTB, dan Bali ditetapkan sebagai pintu gerbang pariwisata dan ketahanan pangan nasional.
Dari sinilah, menurut Lopo, banyak proyek strategis nasional berbasis pariwisata dan ketahanan pangan mulai masuk ke NTT, seperti penetapan Labuan Bajo sebagai kota premium dan proyek food estate. Kebijakan ini, jelas Lopo, adalah respons pemerintah terhadap krisis ekonomi global sekitar tahun 2008 – 2009 yang mengharuskan pembagian koridor ekonomi dalam enam wilayah.
Namun, dirinya menilai proyek pengembangan geotermal ini membutuhkan tinjauan lebih mendalam. Sebab ia meragukan dampak signifikan industri pariwisata dan proyek geotermal terhadap industri turunan serta ekonomi produktif masyarakat lokal.
Lopo menegaskan bahwa masalah utama pengembangan geotermal ini bukan sekadar teknikalitas eksplorasi, melainkan analisis jangka panjang terhadap dampak kebijakan ini. Ia menilai belum ada kajian komprehensif yang menjabarkan hal tersebut.
“Untuk signifikansi, belum ada variabel atau indikator yang memadai untuk secara akurat mengukur dampak pengembangan geotermal pada perekonomian masyarakat setempat,” katanya.
Lopo lantas mengajak untuk memisahkan antara aspek teknikalitas geotermal sebagai sumber energi terbarukan dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.
“Apakah masyarakat Flores atau NTT secara keseluruhan memang membutuhkan geotermal? Misalkan begini, tidak ada geotermal, kira-kira kehidupan masyarakat di sana itu seperti apa? Atau, apa perbedaan yang dapat ditawarkan dengan adanya geotermal ini? Singkatnya, siapa sebenarnya yang butuh energi geotermal ini?” ujarnya.
Kontroversi pro dan kontra di masyarakat, menurut Lopo, adalah gejala dari tidak tuntasnya proses atau tahapan ideal dalam pembuatan kebijakan publik (policy making). Ia mengkritisi proses penetapan agenda yang bermasalah karena kebijakan ini “turun dari atas” dan menjadikan Pulau Flores sebagai lokasi proyek, bukan berdasarkan kebutuhan lokal masyarakat setempat.
“Desain kebijakan pemerintah tidak mudah diterima masyarakat karena tidak didasarkan pada kebutuhan lokal,” paparnya.
Lopo juga menyoroti pola seragam pemerintah dalam menyelesaikan masalah terkait proyek strategis nasional, di mana pro-kontra hampir selalu muncul dan solusi seringkali terjebak dalam pemikiran biner.
“Mereka hanya mencari jalan keluar di level implementasi kebijakan menyoal mengapa orang menolak dan setuju. Tetapi tidak dibuka ruang untuk mendiskusikan esensi dari pada geotermal itu sendiri,” kritik Lopo.
Lopo kemudian menyarankan agar konsep berpikir biner perlu diselaraskan dengan sebuah diskursus yang berada pada level paradigmatik dalam mencari jalan keluar, bukan hanya di level implementasi.
“Penyelesaiannya butuh kajian yang jauh lebih komprehensif dan mendalam, bukan hanya hal-hal teknis operasional. Harus ada ruang interupsi dalam kebijakan di level paradigma, karena selama ini ruang itu tidak pernah dibuka,” tutup Lopo, menyerukan adanya perubahan fundamental dalam pendekatan kebijakan pembangunan.
Ia juga menyayangkan pembentukan tim yang merekomendasikan kelanjutan proyek geotermal tanpa membuka ruang diskusi mendalam tentang esensinya.
Lebih jauh, Lopo mengajak untuk melihat isu ini dengan perspektif yang lebih luas, bahwa diskursus global mengenai energi, pangan, dan iklim yang dikonversi menjadi proyek strategis nasional kerap kali melayani diskursus global.
“Kita tidak pernah berdiskusi apakah memang betul kita butuh diskursus semacam itu. Jangan-jangan itu adalah problem negara-negara barat,” tegasnya, menyinggung perbedaan antara (Global North dan Global South).
Lopo juga mengkhawatirkan keyakinan (trickle-down effect) yang selalu dianut, di mana semakin banyak proyek strategis nasional di daerah dianggap punya peluang menyejahterakan masyarakat.
“Padahal belum tentu, apakah dengan semakin banyaknya proyek strategis nasional di daerah akan berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat ataukah hanya segelintir orang yang justru menikmatinya,” pungkasnya.
Di level lokal, Lopo menekankan bahwa komunitas masyarakat sudah memiliki sistem keyakinan, nilai berdasarkan adat, agama, dan budaya yang telah ada berabad-abad. Hal ini membutuhkan ruang untuk dinegosiasikan dengan ide-ide pembangunan developmentalisme.
“Kita tidak bisa datang dengan menjanjikan ilusi kesejahteraan serta memaksakan masyarakat lokal untuk tunduk atas nama pembangunan,” tegasnya. (Nino)
