MATA INDONESIA, JAKARTA – Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto merespon kabar yang beredar terkait aliran dana yang disebut sebagai utang terselubung dari Cina untuk Indonesia.
Ia meragukan informasi yang dilakukan oleh lembaga riset asal Amerika Serikat (AS), Aiddata tersebut. Ryan menegaskan bahwa kabar tersebut malah tak sesuai dengan fakta yang terjadi di Indonesia.
“Definisinya itu bukan utang, tapi yang benar adalah investor Cina berinvestasi ke Indonesia. Jadi itu adalah nilai investasi dari Cina ke Indonesia selama beberapa tahun terakhir,” ujarnya Ketika dihubungi Mata Indonesia News, Kamis 14 Oktober 2021.
Ia beralasan bahwa karena di tengah masa pandemi ini yang punya dana adalah para investor dari Cina. Karena punya modal, maka mereka mencari lahan investasi di luar negaranya.
“Nah, salah satunya adalah Indonesia. Karena Indonesia ke depannya itu prospektif. Kita adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Indonesia adalah negara yang sedang bertumbuh. Bahkan kita diprediksi di tahun 2045, kita akan diperkirakan masuk dalam 10 besar negara besar dunia dalam hal skala ekonomi,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa sejauh ini rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih cukup aman. Bahkan jauh lebih kecil dibanding dengan negara lain. Ryan juga menilai manajemen utang yang dilakukan pemerintah Indonesia cukup pruden atau sangat hati-hati dan kredibel.
Kementerian Keuangan mencatat, posisi utang pemerintah per akhir Agustus 2021 sebesar Rp 6.625,43 triliun. Dengan jumlah tersebut, berarti rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir bulan laporan sebesar 40,85 persen. Dalam paparan APBN KiTa September 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, jumlah utang tersebut mengalami peningkatan Rp 55,27 triliun dari posisi Juli 2021.
Menurut Ryan, hal tersebut menunjukkan bahwa manajeman utang Indonesia masih sehat. Karena dalam aturan ekonomi nasional maupun internasional yang ditetapkan Uni Eropa, suatu negara diharapkan porsi utang luar negerinya tidak boleh lebih dari 60 persen terhadap total PDB negara tersebut.
“Jangan melihat nominal rupiahnya, ekonomi kita ini masih ok. Karena banyak negara yang utang luar negerinya melampaui PDB. Contohnya Jepang. Lalu ada AS yang kemarin sampai hampir bangkrut,” katanya.
Kemudian terkait investasi, Ryan mengatakan bahwa investasi Cina ini bukan hanya di Indonesia saja. Tapi ikut merambah ke Afrika, Timur Tengah hingga India dalam rangka mendukung program Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra Cina.
Ia juga menekankan agar perlu membedakan antara Foreign Direct Investment atau investasi dari luar negeri dengan utang. Dan perlu dipahami pula bahwa saat ini pemerintah cukup terbuka bagi masuknya investasi asing untuk menggeliatkan perekonomian tanah air.
“Baik dari AS, Cina, Timur Tengah, Jepang, Jerman dan negara Eropa lainnya dipersilahkan. Yang penting investasi itu memberikan multiplier efek bagi ekonomi Indonesia. Seperti ada lapangan kerja baru, mencetak tenaga kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Rian menambahkan bahwa saat ini Indonesia membuka diri bagi investasi asing. Di sisi lain, para investor asing juga mengincar Indonesia karena perekonomian tanah air diproyeksi akan tumbuh bagus di masa depan.
Seperti diketahui sebelumnya, dalam riset Aiddata menjelaskan bahwa ada aliran dana yang disebut sebagai utang terselubung Cina ke Indonesia. Laporan yang dirilis September lalu itu, me-review penyaluran pembiayaan Cina melalui sejumlah proyek ke berbagai negara, pada rentang 2000-2017.
jika ditotalkan, utang terselubung yang disalurkan Cina ke Indonesia pada periode 2000-2017 mencapai USD 34,38 miliar atau dengan kurs saat ini setara Rp 488,9 triliun. Jumlah ini hampir 18 persen dari total belanja APBN 2021 yang mencapai Rp 2.750 triliun.
Nilai utang terselubung yang diungkap lembaga riset Aiddata itu, bahkan melampaui yang tercatat sebagai utang resmi Cina ke Indonesia. Mengutip statistik utang luar negeri per Juli 2021 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI), utang yang disalurkan Cina ke Indonesia ‘hanya’ USD 21,12 miliar atau setara Rp 300,3 triliun.