Vicente Lusitano, Komposer Hebat Abad ke-16 yang Dihapus dari Sejarah

Baca Juga

MATA INDONESIA, NEW YORK – Sejarah mencatat, dunia musik klasik dominan oleh pria kulit putih. Jadi, kalau ada tokoh orang berkulit hitam, agak aneh rasanya.

Makanya tak banyak orang tahu Vicente Lusitano. Ia sebenarnya komposer hebat yang pernah lahir di dunia musik klasik. Lusitano ini keturunan Afrika dan Portugis. Dulu sebutannya ‘pardo’. Istilah ini mengacu karena di Portugis banyak sekali percampuran antara masyarakat kulit putih dan budak-budak dari Afrika.

Jarang sekali literasi soal Lusitano. Sejumlah sejarawan nyaris menghapus catatan dan data soal Lusitano. Meski sekarang sejumlah kalangan mencoba membuka data-data soal Lusitano. ”Sebenarnya dia orang yang keren, termasuk sosok yang luar biasa,” ujar Joseph McHardy, komposer, konduktor, dan spesialis musik klasik.

Dalam catatan dan data yang berhasil terkumpul hanya disebutkan Lusitano pernah jadi Pendeta Katolik, komposer, dan ahli musik. Di tahun 1551, dia pergi dari Portugis ke Roma. Ia bekerja di kedutaan besar Portugis di Roma. Karena keahlian bermusiknya, Lusitano sering mendapat panggilan untuk bermain musik. Lusitano juga bisa membuat musik motet: komposisi paduan suara polifonik yang sakral (suara yang menyanyikan lapis melodi yang berbeda dalam waktu bersamaan).

Gaya bermusiknya sempat dijadikan perdebatan dengan penggunaan instrumen yang ia pakai. Dulu saingannya adalah musisi Nicola Vicentino.

Saat itu, Lusitanolah pemenangnya. Dan ini membuat Nicola Vicentino iri dan tak terima harus kalah dengan orang asing. Berbagai cara ia lakukan untuk mempermalukan Lusitano.

Persaingan tidak sehat ini membuat Lusitano pun memilih pindah ke Jerman. Ia pun pindah agama dari Katolik ke Protestan. Ia menikah dengan warga Jerman. Bekerja di Stuggart sambil bermain musik. Ia pun terkenal dan sering mendapat undangan untuk bermain musik.

Lambat laun nama Lusitano pun terkenal ke luar Jerman. Di Portugis, nama Lusitano terkenal hingga Raja Portugis meminta ia pindah dari Jerman ke Lisabon. Namun Lusitano menolaknya.

Era Sekarang

Pada saat Pandemi Covid-19 melanda sebagian negara Eropa, banyak musisi yang memilih tinggal di rumah dan mulai menggali musik-musik zaman dulu. Salah satunya Rory McCleery. Suatu saat ia membaca artikel singkat tentang Lusitano. Penulis artikel ini adalah Garrett Schumann dari University of Michigan. Karena penasaran, Rory mencari tahu lebih banyak. Ia kemudian menemukan rekaman Liber primus epigramatum (1551) milik Lusitano. Karya ini oleh Rory kemudian diupload online.

Tak disangka, banyak orang yang mendengarkan musik ini. Rory pun penasaran. Ia kemudian ingin membawa musik ini ke panggung.

Bersama bandnya The Marian Consort, Rory memainkan karya-karya Lusitano. Pada Desember 2020, untuk pertama kalinya The Marian Consort memainkan musik dari Lusitano di London, Inggris. Lalu di musim panas lalu, mereka menggabungkan pertunjukan musik ini dengan komposer Josquin de Prez dalam sebuah acara di kampus.

Ternyata karya Lusitano cocok dengan Josquin. Lagu ‘Inviolata’ milik Lusitano malah hasil ‘pengembangan’ dari lagu milik Josquin. Dari 5 bagian komposisi Josquin dan Lusitano kemudian berkembang menjadi delapan komposisi.

The Marian Consort akhirnya merilis album berisi musik Lusitano. Mereka juga siap memainkan remix lagu Lusitano dalam berbagai pertunjukan atau panggung musik di Inggris. Bahkan, seorang musisi Roderick Williams diminta untuk membuatkan musik sebagai respons kepada Inviolata milik Lusitano.

”Seperti orang lain. Aku juga nggak pernah dengar tentang Lusitano.” ujar Roderick Williams. Ia mengakui saat membahas komposisinya musiknya yang dikutip langsung dari Josquin ke Lusitano sebelum interpretasikan dengan gaya kontemporernya.

“Kenapa The Marian Consort mencari tahu tentang dia, ya, karena sejarah sudah melupakannya. Kita baru saja mulai sadar kalau dulu ada komposer dari ras campuran,” katanya.

Saat protes demo ‘Black Lives Matter’ beberapa tahun lalu, beberapa pengunjuk rasa membawa poster Lusitano. Joseph McHard sempat melihat sekilas ia sempat bertanya-tanya kepada orang yang membawa poster tersebut. Saat ia mencari tahu siapa Lusitano, ia pun kaget.

Sejak itu, McHardy mengumpulkan data-data soal Lusitano.

Ia kemudian memperbaiki buku komposisi milik Lusitano. Ia juga mengubah bentuk notasi lama ke modern agar bisa lebih dipahami yang lain. Ia mencoba merekam musik Lusitano dengan band orang kulit hitam dan grup vokal dengan berbagai etnis yang berbeda. Ia bentuk band namanya Chineke! Voices.

Keindahan Musiknya

McHardy mengaku sulit sekali memilih lagu yang akan direkam karena semua komposisinya bagus-bagus.

Jadi, apa sih yang menarik dari musik Lusitano? “Musiknya indah sekali,” kata McHardy. “Ada frase melengkung yang sangat panjang yang seperti berputar ke dalam keabadian. Ia juga menggunakan hubungan nada yang menarik: ada momen yang sedikit panas – musik yang setara dengan suara metal.”

Musiknya yang paling keren menurut McHardy adalah Heu me domine.

”Lagu Itu (Heu me Domine) merupakan komposisi indah yang pernah saya dengar,” katanya. Ia menggunakan kata ‘indah’ untuk meringkas semua musik milik Lusitano. ”Ada tambahan lagi mewah,” katanya.

Penulis: Deandra Alika Hefandia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Webinar Inspiratif Universitas Alma Ata: Peluang dan Tantangan Karir di Dunia UI/UX di Era Digital

Mata Indonesia, Yogyakarta - Menghadapi era digital, Universitas Alma Ata berkomitmen mendorong mahasiswanya untuk membangun karir di dunia UI/UX dengan menggelar webinar bertajuk “Membangun Karir di Dunia Desain UI/UX: Peluang dan Tantangan di Era Digital” pada Sabtu (21/12/2024).
- Advertisement -

Baca berita yang ini