MATA INDONESIA, JAKARTA – Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pekerjaan idaman banyak masyarakat Indonesia karena memiliki gaji tetap dan cenderung naik, difasilitasi berbagai tunjangan, dan menjamin masa tua.
PNS merupakan warisan kolonial Belanda. Akhir abad 19, Indonesia atau yang pada saat itu disebut Hindia Belanda, para pegawai yang membantu administrasi pemerintahan mendapat julukan negara pegawai (beambtenstaat).
Julukan itu diberikan karena keberhasilan para pegawai ini melakukan reformasi birokrasi yang awalnya ruwet pasca peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Sistem birokrasi modern ini dicetuskan pertama kali oleh Herman Willem Daendels dengan melakukan sentralisasi pemerintahan dan mengontrol bawahan secara ketat.
Birokrasi Hindia Belanda terdiri atas para pegawai Eropa dan pribumi. Dalam kategorisasi kolonial, yang pertama disebut Binnenlandsch Bestuur (BB) dan yang kedua Inlandsch Bestuur (IB).
Binnenlandsch Bestuur (BB) yang diisi oleh orang Belanda berpendidikan tinggi serta dikenal relatif lumayan bersih dibandingkan dengan pendahulunya di VOC. Sementara Inlandsch Bestuur (IB) adalah julukan negara pegawai merujuk pada pola birokrasi yang terkesan kotor yang diisi oleh kalangan pribumi.
Pemerintah kolonial melibatkan kaum pribumi untuk mengisi bagian-bagian yang kosong dari birokrasi ini, disebabkan oleh sedikitnya jumlah orang Eropa saat itu.
Hal ini juga dimanfaatkan pemerintah kolonial untuk menjangkau masyarakat pribumi dengan mempekerjakan menak atau priyayi sebagai pegawai. Para menak yang kelas sosialnya dipandang lebih tinggi dapat mempermudah pemerintah kolonial untuk mensosialisasikan program-program mereka kepada masyarakat pribumi.
Sebagai penunjang kerja para menak untuk menjadi pegawai, pemerintah kolonial mendirikan sekolah agar para pegawai terdidik dengan biaya murah. Sekolah yang didirikan yakni Sekolah Pendidikan Calon Guru atau Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).
Selain HIK pemerintah kolonial juga mendirikan Sekolah Khusus untuk Calon Pegawai yang bernama Hoofdenschool yang kemudian berubah menjadi Opledingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang biasa disebut Sekolah Menak dikarenakan sekolah ini hanya untuk anak-anak pegawai pribumi dan tokoh masyarakat.
Menak terbagi atas Menak Heubeul (lama) dan Menak Anyar (baru). Menak Heubeul adalah para priyayi yang memiliki kedudukan sosial yang kuat. Sedangkan Menak Anyar adalah priyayi yang memiliki kedudukan rendah dibanding Menak Heubeul.
Seperti yang dijelaskan Brillo Course dalam sebuah artikel, para menak ini yang menjadi pegawai kolonial. Mereka menjadi perantara antara pemerintah kolonial dan masyarakat pribumi dengan memanfaatkan kedudukannya untuk keuntungan diri sendiri.
Kekotoran para pegawai pribumi membuat rakyat makin sengsara di mana mereka mengenjot hasil agrarian agar panen dapat melebihi target pemerintah kolonial. Stigma pegawai pribumi yang kotor ini muncul saat tanam paksa diberlakukan. Pegawai pribumi yang bersangkutan mendapatkan bonus dari pemerintah kolonial sehingga membuat pegawai pribumi semakin kaya dan rakyat semakin miskin.
Pemerintah Belanda yang diuntungkan akhirnya membiarkan para pegawai IB menciptakan mekanisme kenaikan pangkatnya sendiri. Konsep birokrasi modern Deandels akhirnya tidak berjalan. Nepotisme, korupsi, sampai jilat-menjilat pemerintah menjadi lazim di abad 19.
Lepas dari birokrasi tersebut, korps pegawai IB masuk dalam pendudukan Jepang. Jilid dua kepegawaian pribumi ini tidak jauh berbeda. Seluruh pegawai pemerintah bekas jajahan Belanda dipekerjakan pemerintah Jepang sebagai pegawai bawahan pemerintah. Para pegawai wajib berbaik-baik dan mampu menjilat para atasannya.
Setelah proklamasi kemerdekaan, secara otomatis seluruh pegawai pribumi di bawah pemerintah Jepang menjadi pegawai Negara Republik Indonesia.
Sejarah mencatat pada 25 September 1945 almarhum Mr Kasman Singodimedjo sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan maklumat yang berbunyi, “Presiden memutuskan bahwa pegawai-pegawai Indonesia dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai Negara Republik Indonesia dengan penuh kepercayaan bahwa mereka akan menumpahkan segala kekuatan jiwa dan raga untuk keselamatan Negara Republik Indonesia. Sekretaris Negara minta diberitahukan bahwa hanya perintah dari Pemerintah Republik yang diturutnya.”
Di masa agresi 1948-1949, pegawai negeri terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, pegawai negeri yang tinggal di daerah pemerintahan Republik Indonesia tetap menjadi pegawai Republik Indonesia. Kedua, pegawai negeri yang tinggal di daerah pendudukan Belanda yang tetap menjadi pegawai RI (pegawai nonkooperator). Ketiga, pegawai yang bekerja sama dengan Belanda (kooperator). Pada 27 Desember 1949, ketiga kelompok ini disatukan menjadi Pegawai Republik Indonesia Serikat.
Di era ini, para politisi dan tokoh partai yang mendominasi pemerintahan menjadikan para pegawai sebagai alat politik. Berupaya memangkas nepotisme dalam kepegawaian, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Dekrit tersebut dikeluarkan untuk mengembalikan pegawai pemerintah atau negeri untuk netral dari kekuasaan partai politik.
Itulah perjalanan panjang PNS saat era kolonial hingga kemerdekaan. Kendati telah banyak perubahan, namun banyak pegawai masih terjebak dalam sisa-sisa pemerintahan sebelumnya dengan mendukung partai komunis.
Reporter: Safira Ginanisa