Saat Dilantik Jadi Kaisar Cina, Pu Yi Terpaksa Digendong

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Aisin Gioro Puyi atau juga dikenal dengan nama Henry Pu Yi lahir pada 7 Februari 1906 di Cina. Saat belum genap berusia tiga tahun, ia sudah diangkat menjadi kaisar.  Karena masih sangat muda, Pu Yi bahkan harus digendong ayahnya saat berjalan menuju Takhta Naga di hari pelantikannya sebagai kaisar pada tahun 1908.

Pu Yi diangkat menjadi kaisar Dinasti Qing ketika kondisi Cina sedang kacau balau. Kaum revolusioner republik sedang gencar mengupayakan perubahan sistem pemerintahan Cina dari monarki menjadi republik. Bahkan, Seorang penasihat istana bernama Yuan Shih Kai menjadi musuh dalam selimut dalam pemerintahan Pu Yi.

Pada 12 Februari 1912, Yuan berhasil menjatuhkan pemerintahan Pu Yi dan membentuk pemerintahan yang bersifat republik. Segala urusan politik dan ekonomi kerajaan berada di bawah kekuasaan Yuan. “Aku kaisar yang berkuasa dalam suasana seperti itu selama tiga tahun lamanya, tanpa adanya kesadaran yang nyata akan situasi politik,” kata Pu Yi dalam otobiografinya.

Pu Yi pun menjadi kaisar tanpa titah. Dia menjalani hidup sebagai seorang tahanan di sana. Tetapi, dia masih memperoleh hak pelayanan sebagai kaisar dan menjalankan tradisi kerajaan berdasarkan Perjanjian Perlakuan Baik yang dibuat ayahnya dan Departemen Rumah Tangga dengan pihak republik.

Di sisi lain, keluarga Qing berjanji akan terus mendukung Yuan sebagai kaisar bila dia memegang teguh perjanjian itu. Yuan pun meninggal dunia 83 hari setelah memegang kekuasaan sebagai kaisar.

Banyak orang yang percaya bahwa kematian Yuan merupakan kutukan dari langit karena dia telah merebut kepemimpinan Pu Yi secara tidak sah. Berita kematiannya disambut penuh suka cita oleh para penduduk Kota Terlarang. Mereka pun menuntut restorasi pemerintahan Dinasti Qing. Pada 1917 restorasi Dinasti Qing mencapai puncaknya. Pu Yi kembali menjadi kaisar penuh.

Tapi masa-masa indah itu hanya berlangsung sesaat. Kaum revolusioner republik kembali menyerang Istana Yu Ching milik Dinasti Qing menggunakan kekuatan udara. Setelah itu, kaum republik mengeluarkan dekrit yang menurunkan tahta Pu Yi sebagai kaisar. Kecuali di Istana Terlarang, Pu Yi kembali kehilangan kekuasaannya.

Beruntung, Pu Yi memiliki banyak tutor yang telah mempengaruhi pola pikirnya. Salah satunya Reginald Fleming Johnstone, alumnus Universitas Oxford Inggris. Berkat Reginald, Pu Yi belajar banyak hal mengenai dunia Barat. Mereka berdua kerap berdiskusi soal kondisi dan sistem politik di sejumlah negara, kekuatan negara setelah Perang Dunia I, hingga kebiasaan keluarga kerajaan Inggris.

“Kurasa dia tak pernah menyadari seberapa dalam pengaruh dirinya terhadap diriku; bahwa stelan wolnya membuatku mempertanyakan nilai kain sutera dan brokat China; dan pulpen di dalam sakunya membuatku malu menggunakan kuas dan kertas Cinaku,” kenang Pu Yi.

Kekuasannya yang terbatas hilang ketika kaum republik mengumumkan berakhirnya Perjanjian Perlakuan Baik. Kedudukan Pu Yi sebagai kaisar dicabut dan dia berubah menjadi rakyat biasa. Pu Yi pun melarikan diri ke Tietsin, sebuah daerah yang masih menjadi wilayah Jepang atas China.

Di sini Pu Yi berusaha untuk melakukan restorasi pemerintahan kembali. Tutor-tutor Pu Yi meyakinkannya bahwa restorasi hanya bisa terwujud dengan bantuan Jepang. Jepang mendekati Pu Yi dengan mengundangnya berkunjung ke sebuah sekolah untuk anak-anak Jepang dan pesta ulang tahun Kaisar Jepang.

Bahkan pada 1934 Jepang mengangkat Pu Yi sebagai kaisar boneka di Machuria, wilayah sebelah utara Cina untuk memuluskan berbagai kepentingan Jepang. Pada masa ini, Jepang mengadakan kerja paksa hingga puluhan ribu rakyat Cina tewas. Jepang juga kemudian berhasil menduduki wilayah Beijing.

Tapi, ibarat kacang lupa kulitnya, Jepang lalu mencabut kekuasaan Pu Yi.

Pada 1945, dalam suasana Perang Dunia II, Pu Yi ditangkap pasukan Soviet dan dibawa ke Chita, Siberia. Selama tujuh hari berturut-turut Pu Yi diperiksa di pengadilan penjahat perang. Cina sendiri sudah berubah.

Pada 1 Oktober 1949, Mao Tse Tung resmi membentuk Republik Rakyat Cina. Pu Yi baru menikmati kemerdekaan dirinya sepuluh tahun setelah Mao mengumumkan pemberian amnesti kepada para tahanan perang, termasuk Pu Yi.

Selama di penjara, Pu Yi menulis buku otobiografi yang berjudul The Last Emperor.

Dia menceritakan pengalaman hidupnya yang luar biasa dimulai dari penobatannya sebagai kaisar pada usia sangat muda, hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, maraknya korupsi di kerajaannya, menjadi “boneka” penguasa Jepang, mendekam di penjara sebagai tawanan perang, hingga menjadi tukang kebun.

Buku ini juga menjadi inspirasi film yang berjudul “The Last Emperor” film yang disutradarai Bernardo Bertolucci ini berhasil meraih sembilan Piala Oscar.

Pada 17 Oktober 1967, Pu Yi wafat dan dimakamkan di samping makam kaisar sebelumnya, Kaisar Kuang Hsu.

Reporter: Muhammad Raja A.P

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Kondusifitas Kamtibmas Pilkada Papua 2024 Terjamin, Aparat Keamanan Mantapkan Kesiapan

PAPUA — Kondusifitas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Papua 2024 terjamin, seluruh jajaran...
- Advertisement -

Baca berita yang ini