Persis, Berawal dari Kelompok Tadarusan di Bandung

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Organisasi Massa (ormas) Islam yang cukup besar anggotanya selain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah Persatuan Islam (Persis).

Organisasi ini merupakan salah satu organisasi pembaharuan yang muncul pada awal ke-20. Persis berawal dari suatu kelompok tadarusan di kota Bandung di bawah pimpinan H Muhammad Zamzam dan Muhammad Yunus. Sejak awal pendiriannya, Persis lebih menitik beratkan perjuangannya pada dakwah dan pendidikan Islam. Kelompok tadarusan yang awalnya hanya berjumlah sekitar 20an orang ini pun semakin mengetahui hakitat Islam yang sebenarnya. Mereka menjadi  sadar bahaya keterbelakangan, kejumudan, penutupan pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian bid’ah.

Pada tahun-tahun pertamanya, organisasi ini hanya memiliki anggota sekitar 20an orang. Aktivitas pun berakar pada shalat Jum’at ketika anggota datang bersama-sama. Mengikuti kursus-kursus pengajaran agama sejumlah tokoh Persis. Perlu diketahui seluruh aktivitas dakwah mandiri dan dibiayai sendiri oleh kedua pendirinya yang berprofesi sebagai wirausahawan.

Ahmad Hassan

Organisasi ini mendapat bentuknya setelah masuknya Ahmad Hassan pada tahun 1926 dan Mohammad Natsir pada 1927.  Ahmad Hassan merupakan seorang pendatang dari Singapura. Ia adalah keturunan keluarga India Tamil yang menetap di wilayah itu. Meskipun tidak menuntaskan pendidikan sekolah dasar, tetapi Ahmad Hassan sejak kecil telah memperoleh pendidikan agama yang kuat dari berbagai ulama terkenal di Singapura dan Sumatera.

KH Ahmad Hassan salah seorang yang ikut mengembangkan Persis
KH Ahmad Hassan salah seorang yang ikut mengembangkan Persis

Pada tahun 1940, Ahmad Hassan beserta 25 muridnya pindah ke Bangil, Jawa Timur dan pesantren yang berada di Bandung dilanjutkan oleh KH Endang Abdurrahman.

Pada masa penjajahan Jepang, organisasi ini kurang berkembang karena menentang kebijaksanaan penjajah yang mewajibkan melakukan Sei kerei (penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah Tokyo).

Menjelang kemerdekaan, barulah organisasi ini mulai tertarik dengan masalah politik. Para tokoh Persis berpandangan bahwa kembali ke Al Quran dan Sunah itu tidak hanya terbatas dalam akidah dan ibadah, tetapi juga berjuang dalam politik untuk memenangkan ideologi Islam.

Dalam menjalankan dakwahnya, Persis rajin membuat sejumlah media cetak berupa majalah. Sejak penghujung 1920-an telah menerbitkan majalah, yakni Pembela Islam (1929). Selanjutnya majalah lain terbit berturut-turut sepanjang tahun 1930-an, yakni Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), dan Al-Hikam (1939).

Menjelang berakhirnya masa revolusi, organisasi ini kembali menerbitkan majalah baru bernama Aliran Islam pada 1948. Selanjutnya mereka juga menerbitkan majalah Risalah (1962), Iber (1967), dan Pemuda Persis Tamaddun (1970).

Persis pada umumnya kurang memberikan tekanan kepada kegiatan organisasi. Mereka tidak terlalu berminat menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan cabang tergantung pada inisiatif peminat semata dan bukan berdasarkan rencana yang dilakukan oleh pimpinan pusat.

Masyumi

Pada 8 November 1945, Persis turut mempelopori lahirnya Partai Masyumi di Yogyakarta. Sebagai wadah politik umat Islam di Indonesia, Persis menjadi anggota istimewa di dalam Masyumi di samping Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Selain bergabung dengan Masyumi, Persis juga melakukan reorganisasi untuk menyusun  kembali sistem organisasi yang sebelumnya dibekukan oleh Jepang. Setelah reorganisasi tahun 1948, Persis berada di bawah kepemimpinan KH Isa Anshary dari tahun 1948-1960.

KH Isa Anshary, salah seorang tokoh di Persis
KH Isa Anshary, salah seorang tokoh di Persis

Pada muktamar Persis ke-7 di Bangil (2-5 Agustus 1960), berkembang wacana agar Persis berubah formatnya dari organisasi massa menjadi organisasi politik dengan nama baru Jama’ah Muslimin. KH Isa Anshary yang pertama kali melontarkan wacana ini.

Sementara itu pihak lain menginginkan Persis tetap eksis sebagai ormas Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.

Gagasan dari Isa Anshary mendapat penolakan dari KH E Abdurrahman yang lebih memilih mempertahankan bentuk asli organisasi. Abdurrahman mendapat dukungan kuat dari pimpinan pusat Pemuda Persis. Melalui pertarungan yang alot dalam muktamar, akhirnya Abdurrahman terpilih menjadi ketua umum.

Bergantinya tampuk kepemimpinan dan perubahan situasi negara rupanya mempengaruhi pada penampilan Persis di publik. Jika pada masa kepemimpinan KH Isa Anshary, lebih kental dan akrab dengan politik praktis, maka pada masa kepemimpinan baru ini Persis tidak begitu peduli  politik. Bahkan Abdurrahman mengeluarkan Tausiah (fatwa) yang melarang semua anggota dan pesantren serta ustaz untuk aktif di bidang politik praktis.

Selama masa kepemimpinan KH. E Abdurrahman dari tahun 1962-1983, Persis menunjukkan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan dari tingkat pusat hingga cabang.

KH E Abdurrahman lebih mengorientasikan sebagai organisasi agama. Ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan kepemimpinan politik. Pada masa inilah Persis kembali kepada garis perjuangannya.

Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Memperkokoh Kerukunan Menyambut Momentum Nataru 2024/2025

Jakarta - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, berbagai elemen masyarakat diimbau untuk memperkuat kerukunan dan menjaga...
- Advertisement -

Baca berita yang ini