MATA INDONESIA, JAKARTA – Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas dari peran serta para tokohnya.
Demikian pula halnya dengan Persis.
Organisasi ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka menjadi tumpuan umat dalam memahami masalah agama. Tidak hanya itu di awal-awal kemerdekaan, beberapa tokoh Persis menjadi tokoh nasional dalam menentang Belanda. Tak kurang dari mereka hidup sederhana. Salah satunya adalah M Natsir yang terkenal karena hidup dengan jas dan pakaian seadanya. Natsir juga terkenal dengan sikap zuhudnya karena beberapa kali menolak hadiah mobil mewah.
Berikut ini tokoh yang berasal dari Persis:
-
Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus
Zamzam alumnus Darul-Ulum (Mekah) sejak tahun 1910-1912. Ia adalah guru agama di Darul-Muta’alimin. Sedangkan Muhammad Yumus adalah seorang pedagang sukses. Di masa mudanya ia mendapatkan pendidikan agama secara tradisional dan menguasai Bahasa Arab sehingga mampu mempelajari kitab-kitab secara autodidak.
Zam-zam dan Muhammad Yunus sering melakukan diskusi dengan tema sekitar gerakan keagamaan yang bergerak pada saat itu. Sering juga tema itu muncul dari permasalahan agama di majalah Al-Manar (terbitan Mesir).
Salah satu tulisan yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka adalah tulisan Muhammad Abdul yang “Al-Islam Mahjubun bil Muslimin”. Ungkapan ini sangat terkenal di kalangan pembaharuan Islam baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan ini menghendaki agar umat Islam memiliki cara berpikir dan corak hidup yang lebih maju dengan lebih menghidupkan kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam tata hidupnya.
Dalam setiap diskusi, Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan pembicara utama. Keduanya banyak mengemukakan pikiran baru. Keduanya memiliki kapasitas dan wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan, apalagi ditunjang oleh profesi Zam-zam sebagai guru agama. Di samping itu, mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup kuat.
Latar belakang pembentukan Persis dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus). Pada 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam (Persis)
2. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (17 Juli 1908–6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, Natsir mendapat tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir mendapat penghargaan sebagai pahlawan nasional Indonesia.
3. Mohammad Isa Anshary
KH Muhammad Isa Anshari (1 Juli 1916–11 Desember 1969) adalah politisi dan tokoh Islam asal Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Islam, anggota konstituante, dan merupakan juru bicara Partai Masyumi pada era 1950-an. Isa mendapat julukan singa podium karena kepiawaiannya dalam berpidato dan mempengaruhi massa.
4. KH E Abdurrahman
Ustaz Endang Abdurrahman, punya sifat serta karakter yang berlawanan dengan citra Persis di mata orang luar. Ia punya pribadi yang halus dan fasih tutur katanya, tenang, jernih pikirannya, dan luas pandangannya.
Endang Abdurrahman berasal dari keluarga sederhana. Tokoh ulama ini terlahir di kampung Pesarean, desa Bojong Herang, Cianjur, 12 Juni 1912. Ayahnya, Ghazali, bekerja sebagai penjahit pakaian, dan sang ibu, Hafsah, adalah perajin batik.
Endang Abdurrahman mengajar di Majelis Pendidikan Di-niyah Islam (MPDI). Majelis ini menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi anak dan orang dewasa. Kegiatan mengajar di MPDI membawanya mengenal Ustaz A Hassan, guru utama Persis yang menyelenggarakan pengajian di daerah Pangeran Sumedang Weg, Bandung. Lazimnya pengajian kaum reformis puritan, maka ceramah A Hassan banyak mengangkat tema menyangkut haramnya tahlilan, talqin, marhaban, dan penggunaan kata ushali dalam shalat.
Ia masuk ke Pendidikan Islam (Pendis) yang merupakan bagian pendidikan Persis. Baru pada tahun 1934, Endang Abdurrahman menjadi anggota Persis. Kemampuan dalam mengelola lembaga pendidikan agama, membuatnya menjadi pemimpin pesantren kecil yang buka di pagi hari. Tahun 1940 pesantren kecil ini menjelma menjadi pesantren Persatuan Islam Bandung yang merupakan model bagi pesantren Persis di daerah-daerah.
Kariernya di Persis saat menjabat sebagai ketua bagian tabligh dan pendidikan, tahun 1952. Setahun kemudian dalam Muktamar V Persis di Bandung, ia terpilih menjadi Sekretaris Umum Persis dengan KH Isa Anshari sebagai ketua umum.
Tahun 1962 adalah tahun penting bagi Endang Abdurrahman: ia memimpin Persis. Di bawah kepemimpinannya, Persis konsisten menjadi organisasi pendidikan dan dakwah dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Di samping memang penceramah, Abdurrahman pun seorang penulis yang produktif. Sebagian besar tulisannya merupakan karangan lepas.
5. KH Abdul Latief Muchtar
Lahir di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh. Sejak kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Persis, menggantikan KH E Abdurrahman yang wafat.
Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul Latief. Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.
Pada masa awal jabatannya sebagai Ketua Umum Persis, KH Abdul Latief berhadapan dengan guncangnya jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menuntut semua organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia mencantumkan asas tunggal Pancasila. KH Latief cukup akomodatif dalam persoalan ini. Ia mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya, kampus adalah lembaga intelektual. Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis.
6. Ahmad Hassan
Saat menetapkan Hari Santri Nasional, Presiden Joko Widodo menyebut sejumlah tokoh santri yang ikut menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka adalah KH Hasyim As’yari (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Hassan (Persis), Ahmad Soorhati (Al-Irsyad), dan Mas Abdul Rahman (Matlaul Anwar).
Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad. Sang ayah, Ahmad, merupakan pedagang, pengarang, dan wartawan terkenal di Singapura. Ahmad menjadi pemimpin redaksi surat kabar Nurul Islam di Singapura.
Ahmad Hassan banyak menulis artikel tentang Islam. Selain itu, ia pun sering menyampaikan ide-idenya dalam pidato. Pikiran-pikiran Ahmad Hassan sangat tajam dan kritis. Walaupun sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (Persis), pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat sama dengan Muhammadiyah.
Pada 1921, Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Dia berniat meneruskan pengelolaan toko tekstil milik pamannya, tetapi rugi. Dia pun kembali ke profesi awal sebagai tukang vulkanisir ban mobil. Sambil menjalankan usahanya, dia menjalin persahabatan dengan tokoh Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto, AM Sangaji, dan Haji Agus Salim.
Ahmad Hassan juga pernah belajar menenun di Kediri. Tak puas, pada tahun 1925 dia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di kota tersebut. Di Bandung, dia bertemu dengan sejumlah saudagar Persis seperti Asy’ari, Tamim, dan Zamzam. Di Bandung, Ahmad Hassan tinggal di rumah keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis.
Ahmad Hassan sering datang untuk ceramah dan memberikan pelajaran pada pengajian jamaah Persis. Dengan metode dakwah, kepribadian, dan pengetahuan yang luas, jamaah Persis tertarik pada Ahmad Hassan. Ia kemudian menjadi guru dan tokoh Persis. Hal ini membuatnya batal balik ke Surabaya.
Setelah 17 tahun berjuang dan berdakwah di Bandung, pada 1941 Ahmad Hassan hijrah ke Bangil. Sosok yang suka memakai peci hitam dan sarung dari kain pelekat, jas putih tutup leher, dan sepasang sepatu ini membawa serta percetakannya untuk bekal hidup.
Di tempat barunya dia terus berdakwah melalui penulisan, tabligh, pengajian, dialog, dan perdebatan. Ia menulis buku, mencetak, dan menerbitkannya sendiri.
Ahmad Hassan memberikan andil besar terhadap pemikiran keislaman Presiden Soekarno. Bung Karno kerap meminta buku dan majalah karya Ahmad Hassan saat menjalani masa pembuangan oleh penjajah Belanda di Ende, Flores.
Surat-surat Bung Karno kepada Ahmad Hasan menjadi saksi kedekatan mereka. Ketika Bung Karno di penjara Sukamiskin, Ahmad Hasan kerap mengunjunginya dan memberikan buku-buku bacaan. Ahmad Hassan menganggap Bung Karno sebagai kawannya.
Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma