Perilaku Korup Ferdinand Marcos yang Menghancurkan Filipina

Baca Juga

MATA INDONESIA, MANILA – Terpilihnya Ferdinand Marcos Jr menjadi presiden Filipina cukup mengagetkan. Rakyat Filipina sepertinya sudah melupakan sejarah bahwa mereka pernah berada dalam situasi negara yang korup dan penuh intrik.

Menurut The Economist, tujuan keluarga besar Marcos menguasai kursi kepresidenan bukanlah sarana untuk menciptakan perubahan lebih baik.  Atau memperbaiki karut-marut masalah sosial ekonomi yang terus melanda Filipina.

The Economist dengan sinis menulis bahwa terpilihnya Ferdinand Marcos junior alias Bongbong sebagai upaya merehabilitasi nama keluarga.”

Nama Marcos identik dengan rezim represif dan brutal. Selama era darurat militer (1972-1981) plus lima tahun terakhir Marcos Senior berkuasa, tercatat 70 ribu orang masuk tahanan, menyiksa 34 ribu orang dan 400 orang tewas karena siksaan.

Marcos juga memupuk kekayaan dari hasil merampas uang negara. Jumlahnya tak main-main: 5 sampai 10 miliar dolar AS.

Melansir laporan The Guardian, harta sebanyak itu tak masuk akal karena gaji Marcos Sr. “hanya” 13.500 dolar per tahun. Guinness World Records bahkan menyebutnya sebagai “perampokan terbesar oleh pemerintah.

Ketika 40 persen rakyat Filipina bertahan hidup dengan dua dolar per hari, keluarga Marcos justru bermewah-mewahan. Tak hanya properti, mobil mewah, jet pribadi, dan kapal pesiar, mereka juga mengoleksi lukisan langka termasuk karya Monet, Picasso, dan Van Gogh.

Sang istri, Imelda, punya hasrat konsumtif yang luar biasa. Ia suka memborong parfum dalam volume galon. Membeli produsen perhiasan Tiffany & Co. Dan yang tak kalah dahsyat mengoleksi 3.000 pasang sepatu dari berbagai merek yang mahal. Ia pun mandi dengan susu dan madu setiap harinya.

Pembangunan ekonomi dalam negeri pun secara umum tersendat.

Dampak dari korupsinya Marcos membuat pembangunan Filipina terlambat. Pendapatan Domestik Bruto per kapita merosot sejak 1982. Baru normal lagi setelah 2003.

Selain itu, di bawah era Marcos, utang luar negeri luar biasa besar sehingga berujung krisis pada 1983. Industri manufaktur berskala besar (seperti produksi mobil, TV, dan pembangkit energi nuklir) yang perusahaanya milik keluarga dan teman-teman Marcos bangkrut. Keluarga dan teman-teman Marcos menguras harta dari perusahaan ini dan menyimpannya di sejumlah bank di luar Filipina.

Ferdinand Marcos Senior

Ferdinand Marcos ialah Presiden Filipina yang menjabat selama 20 tahun.  Dari Desember 1965 hingga Februari 1986. Ia lahir di Sarrat, Norte Utara, Filipina, 11 September 1917.

Marcos terpilih menjadi presiden di usianya yang hampir setengah abad. Ia seorang yang cerdas. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Filipina dengan gelar cum laude pada 1939. Ia menikah dengan Imelda Romualdez atau Imelda Marcos pada 1954. Mereka mendapat tiga orang anak, yakni Imee Marcos, Ferdinand Marcos Jr., Irene Marcos. Marcos juga mengadopsi seorang anak bernama Aimee Marcos.

Tahun 1965, Ferdinand Marcos terpilih sebagai Presiden Filipina. Pada 1972, ia mendirikan rezim otoriter yang membuatnya tetap berkuasa.

Setelah memenangkan pemilu kedua pada 1969, Ferdinand Marcos mulai mengeluarkan kebijakan yang dianggap kontroversial. Platform ekonomi liberal yang ia terapkan, misalnya, mengakibatkan kesenjangan ekonomi ekstrem.

Pada September 1972, Ferdinand Marcos melakukan deklarasi darurat perang (martial law) saat masa kepemimpinannya sebagai presiden memasuki tahun ke-7. Kebijakan itu dikeluarkan untuk merespons demonstrasi mahasiswa yang semakin keras, dugaan ancaman pemberontakan komunis oleh Partai Komunis Filipina (CPP) yang baru, dan gerakan separatis muslim di Filipina oleh Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).

Angka kriminalitas dan penangkapan warga sipil terus menanjak. Masyarakat sipil dan keamanan negara adalah yang terdampak deklarasi darurat perang ini. Deklarasi tersebut menuntut pasukan bersenjata Filipina memperketat penjagaan keamanan negara yang berujung pada penyanderaan, penganiayaan, dan penghancuran skala besar.

Alih-alih menyurutkan hasrat berkuasanya, Ferdinand Marcos justru kembali mengukuhkan kediktatoran lewat pemilu 1973. Marcos seharusnya tidak bisa lagi menjadi presiden karena sudah berkuasa selama 2 periode. Namun, ia berdalih dengan mengatasnamakan kondisi darurat perang. Semenjak itu, Marcos semakin sewenang-wenang dengan berbagai kebijakannya. Ia memegang mutlak kontrol militer, mengekang kebebasan pers dan hak mengungkapkan pendapat, bahkan membubarkan kongres Filipina.

Pemerintahan Ferdinand Marcos kerap dicap sebagai rezim korup, utang negara ditumpuk dengan korupsi yang mengakibatkan perekonomian Filipina mengalami resesi pada akhir 1983.

Tanggal 21 Agustus 1983, terjadi peristiwa yang menggemparkan. Tokoh oposisi, Benigno Aquino, dibunuh, ditembak tepat di kepala saat sedang turun dari pesawat di Bandara Internasional Manila. Pembunuhan Benigno Aquino membuat gelombang protes terhadap rezim Ferdinand Marcos yang dianggap diktaktor semakin kencang. Ferdinand Marcos yang panik kemudian menyerukan pilpres setahun lebih cepat ketimbang jadwal semula. Momen elektoral ini menjadi puncak kemarahan rakyat Filipina yang merasa selalu dicurangi rezim Marcos.

Gelombang protes kian tak terbendung. Kekuatan militer pun pecah. Sebagian jenderal memilih bergabung dengan rakyat sehingga nyaris terjadi perang saudara. Pada 25 Februari 1986 malam, Ferdinand Marcos Senior menyerah dan bersama keluarganya kabur ke Hawaii.

Reporter: Fadila Aliah Hakim

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Diharapkan Jadi Pendorong Inovasi dalam Pemerintahan

Jakarta - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, diharapkan dapat mendorong inovasi serta memperkuat sinkronisasi...
- Advertisement -

Baca berita yang ini