Pao An Tui, Sayap Militer Chung Hua Hui di Indonesia

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Dulu, masyarakat Cina di Indonesia terpecah menjadi tiga. Yakni, kelompok Sinpo yang berorientasi ke negeri leluhur, Chung Hua Hui pro-Belanda, dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pro Indonesia.

Namun Jepang membubarkan semuanya, dan membentuk Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Syahdan, pada 15 Oktober 1945, atau setelah Jepang menyerah kepada sekutu, masyarakat Tionghoa di Jakarta kembali membentuk kelompok baru.

Kelompok itu diberi nama Chung Hwa Tsung Hui (CHTH). Sebuah sekumpulan orang yang pro Kuomintang alias tidak ada kaum peranakan kaya raya.

Tak bertahan lama, kondisi pun kembali berubah saat kedatangan kembali Belanda. Perlawanan di hampir seluruh wilayah di Indonesia bermunculan.

Para penjahat membentuk laskar liar yang tak berinduk ke mana pun, dan bergerak sesuka hati. Jumlah mereka sangat banyak, dan terdapat di semua wilayah. Mereka membiayai diri dengan cara apa saja.

Di Tangerang, milisi Muslim keturunan Arab membentuk Laskar Hitam — cikal bakal DI/TII — untuk melawan Belanda dan Republik. Mereka hadir bertujuan membentuk negara Islam.

Laskar Hitam inilah yang menculik Menteri Pertahanan Otto Iskandar Dinata dan membunuhnya di Pantai Mauk.

Sebuah informasi yang sulit diklarifikasi menyebutkan Chung Hua Hui Tangerang membentuk Pao An Tui (PAT) sebagai sayap militer, dan para tuan tanah membentuk tentara. Keduanya punya tujuan sama, yakni membentuk negara Capitanate of Tangerang dengan dukungan Belanda.

Ketegangan etnis Cina dan pribumi pun terjadi setelah Pertempuran 10 Nopember 1945, pribumi dan laskar liar mulai menyerang etnis Tionghoa di kota-kota mereka. Penyebabnya adalah orasi radio Bung Tomo beberapa hari selepas pertempuran 10 Nopember 1945.

Bung Tomo kala itu menuduh Cina memihak Belanda. Ia mengobarkan sentimen anti Cina.

Orasi Bung Tomo itu didengar banyak orang dan memicu gelombang serangan terhadap etnis Cina. Situasi ini membuat etnis Tionghoa berada dalam posisi sulit.

Dwicipta mengangkat suasana ini dalam sebuah cerpen berjudul Pao An Tui.

Bung Tomo berdalih, tudingan itu disampaikan setelah mendengar laporan Soemarsono — pemimpin Pemuda Republik — yang pasukannya berhadapan dengan Pao An Tui. Semua itu ditulis Soemarsono dalam memoirnya.

Tak ayal tuduhan dari Bung Tomo membuat marah Siaw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa, dan berbalik menuduh Bung Tomo fasis. Ia mengutus orang-orangnya untuk menemui Bung Tomo dan menjelaskan posisi etnis Cina.

Pertanyaannya, sejak kapan etnis Cina Surabaya membentuk PAT? Andjarwati Noordjanah, dalam Komunitas Tionghoa di Surabaya, mengungkapkan bahwa Belanda terlibat dalam aktivitas pembentukan kembali perkumpulan Cina di Surabaya.

Kata dia, sebagian tokoh Tionghoa Surabaya berpihak ke Republik. Lainnya tidak. Saat pembentukan PAT yang disponsori Belanda itulah kelompok pro-Republik memboikot.

Stigma pro-Belanda telah menempel di kening etnis Cina. Di Medan, dengan bantuan oknum TKR, laskar liar membantai etnis Tionghoa sepanjang Desember 1945. Puluhan orang tewas dalam peristiwa ini.

Kejadian itu memantik respon masyarakat Tionghoa Medan untuk membentuk PAT. Awalnya, anggota PAT Medan sangat sedikit, bersenjata ala kadarnya, dan miskin pengalaman tempur. Namun mereka gagal melindungi masyarakatnya.

Seorang anggota polisi militer Belanda, AJ Van Veen menulis “Pada Desember 1945, komunitas Cina berinisiatif melawan serangan. Mereka membentuk PAT, dengan Lim Seng sebagai komandan. Maret 1946, PAT mendekati Inggris untuk memperoleh senjata.”

Puncaknya akhir Januari 1946, setelah serangkaian pembantaian mengerikan, 12 ribu Cina Medan turun ke jalan untuk memprotes pembantaian. Mereka membawa spanduk bertuliskan Republik Mengkhianati Kami.

Abdul Baqir Zein, dalam Etnis Cina dalam potret pembauran di Indonesia, menulis bahwa komandan pasukan Inggris Jenderal Ted Kelly melatih 110 pemuda Cina. Hanya dalam waktu singkat PAT menjadi milisi andal. Mereka menguasai taktik perang kota dan memiliki senjata lengkap, yang membuat laskar rakyat kewalahan.

Kwee Thiam Tjing menulis; PAT Medan menjadikan wijk (permukiman) Cina sebagai wilayah aman. Namun berembus kabar Jenderal Ted Kelly juga menggunakan mereka sebagai informan dan mata-mata.

Yang terjadi kemudian adalah aksi balas dendam. PAT, yang merasa kuat, menyerbu Bagan Siapi-api, mereka meneror dan membantai pribumi. Komandan Divisi I Tebing Tinggi Achmad Tahir naik pitam, dan memerintahkan pasukan Djamin Ginting membalas. Lim Seng terdesak dan mundur ke Medan.

Pembantaian juga terjadi di Tangerang pada 3 Juni 1946. Informasi penyebab kerusuhan simpang siur. Rosihan Anwar menulis penyebabnya adalah penurunan bendera merah putih yang dilakukan etnis Cina pro Belanda. Informasi lainnya Laskar Hitam mengobarkan perang suci.

Sekitar 600 orang terbantai di Tangerang, ribuan lainnya mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl Gajah Mada. Koran-koran menulis PAT berupaya membalas serangan itu, tapi kalah jumlah dan terbantai. Laporan lain menyebutkan PAT hanya berupaya membantu rakyat mengungsi.

Khusus Pembantaian Tangerang, Siaw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian menolak manyalahkan Republik. Ia menuduh Belanda melakukan semua itu. Kwee Kek Beng yang anti-Republik, mengkritik keras pemerintahan Soekarno.

Republik tahu tidak seluruh etnis Tionghoa pro-Belanda, tapi bagaimana mengidentifikasi mereka yang pro-Indonesia dan bukan. Di lapis bawah, rakyat hanya tahu Tionghoa antek Belanda.

Pada bulan-bulan berikut sampai pertengahan 1947, pembantaian juga terjadi di berbagai kota di Jawa; Jember, Salatiga, Bobotsari, Purbalingga, Cilacap, Gombong, Lumajang, Tegal, Pekalongan, Jalaksana, Purwokerto, dan Malang.

Dalam suasana seperti ini, Tionghoa di Jawa menjadi defenceless minority. Solusi satu-satunya bagi mereka adalah membentuk Pao An Tui di setiap kota di Jawa.

Berita Terbaru

Pemenang Pilkada Wajib Bangun Kebersamaan dan Rajut Persatuan

Jakarta - Pasca gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, pemimpin daerah yang terpilih diharapkan mampu menjadi perekat masyarakat yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini