MATA INDONESIA, LIMA – Saat terjadi tragedi Stadion Kanjuruhan Malang yang menewaskan 127 orang, publik pun kembali teringat kejadian tahun 1964. Nyaris mirip namun masih ada misteri tentang peristiwa itu.
Bencana stadion terburuk di dunia terjadi di ibu kota Peru, Lima, pada 1964 silam. Lebih dari 300 orang tewas – namun cerita lengkapnya tidak pernah jelas.
Hector Chumpitaz, salah satu legenda sepak bola Peru, yang saat itu sedang bermain dan menyaksikan awal mula tragedi tersebut menceritakan bagaimana polisi sengaja melepas anjing mereka dan merobek pakaian para penonton.
Sama dengan tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Penonton mulai marah saat polisi memukul, menendang dan membawa penonton yang masuk ke lapangan. ”Sebenarnya kalau polisi menarik mereka dengan damai, tidak akan ada kejadian yang menyeramkan ini terjadi,” kata Hector.
Akibatnya penonton menyerbu lapangan. Mereka tak terima ketika ada polisi yang sewenang-wenang memukuli penonton.
Dari sinilah cerita itu terjadi. Polisi lagi-lagi menembakan gas air mata ke arah penonton. Massa mulai panik. Mereka kemudian memaksakan diri keluar dari stadion yang saat pertandingan itu membludak.
Saat itu tim nasional menjamu Argentina pada 24 Mei 1964. Peru sedang berada di urutan kedua dalam klasemen sementara turnamen kualifikasi Olimpiade grup Amerika Selatan.
Mereka cukup percaya diri. Meski Brasil menanti di pertandingan terakhir mereka. Peru hanya perlu hasil imbang melawan Argentina.
Stadion penuh sesak dengan kapasitas 53.000 orang. Dan jumlah warga kota Lima Peru saat itu hanya sekitar 100 ribu orang.
Gara-gara Wasit
Hector menceritakan awal mula terjadinya serbuan penonton ke lapangan.
“Meskipun kami bermain bagus, saat itu Argentina memimpin pertandingan,” kenang Hector.
“Kami menyerang. Mereka bertahan dan terus berlanjut sampai suatu saat bek lawan hendak membuang bola – dan depan kami, Kilo Lobaton, mengangkat kakinya untuk memblokir. Bolanya mental masuk ke gawang – tetapi wasit mengatakan itu adalah pelanggaran, jadi golnya tidak sah. Inilah sebabnya para penonton mulai kesal.”
Dengan cepat, dua penonton memasuki lapangan. Yang pertama adalah seorang bernama Bomba. Ia mencoba memukul wasit namun polisi dihentikan oleh polisi dan diseret ke luar lapangan.
Orang kedua, Edilberto Cuenca, mengalami serangan brutal.
“Polisi menendangnya dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh. Inilah yang membangkitkan kemarahan semua orang – termasuk kemarahan saya,” kata salah satu penggemar di Estadio Nacional hari itu, Jose Salas.
Dalam hitungan detik, massa melempar berbagai benda ke arah polisi. Beberapa puluh orang lagi berusaha mencapai lapangan. Membaca suasana hati, Salas dan teman-temannya memutuskan untuk pergi.
“Kami berlima menuruni tangga untuk turun ke jalan – seperti yang dilakukan banyak orang lain – tapi pintu gerbang keluar tertutup,” katanya.
“Jadi kami putar arah dan mulai naik tangga lagi, dan saat itulah polisi mulai melempar gas air mata. Waktu itu orang-orang di tribun berlari ke terowongan untuk menghindar – tempat mereka bertemu kami – sehingga terjadi desak-desakan.”
Salas berada di tribun utara, tempat jumlah tabung gas air mata paling banyak jatuh – antara 12 dan 20. Salas merasa ia menghabiskan sekitar dua jam di antara kerumunan manusia yang perlahan-lahan menuruni tangga. Kerumunan begitu padat, katanya, sehingga kakinya tidak menyentuh lantai sampai dia berakhir di bagian bawah, terperangkap dalam tumpukan mayat, beberapa hidup dan beberapa lainnya meninggal.
Catatan resmi menyatakan sebagian besar korban meninggal karena sesak napas. Namun yang membuat bencana stadion ini berbeda dari yang lain ialah apa yang terjadi di jalanan di luar stadion.
Penembakan Brutal
Beberapa penggemar yang sudah lebih dahulu keluar dari stadion berhasil membuka gerbang dan membebaskan mereka yang terperangkap di dalam, sementara sebagian lainnya terlibat dalam bentrokan dengan polisi bersenjata.
“Beberapa pemuda dari kompleks perumahan saya lewat dan melihat saya. Mereka menarik saya keluar,” katanya.
“Tapi kemudian penembakan dimulai dan mereka langsung berlari. Peluru di mana-mana. Saya mulai berlari dan tidak melihat ke belakang.”
Jumlah resmi mereka yang tewas adalah 328 orang, tetapi ini mungkin estimasi yang terlalu rendah, karena belum termasuk mereka yang tewas terkena tembakan.
Ada banyak laporan saksi mata tentang orang-orang yang meninggal karena luka tembak, tetapi hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki bencana itu, Hakim Benjamin Castaneda, tidak pernah dapat menemukan mayat-mayat itu untuk membuktikannya.
Mendengar dua mayat dengan luka tembak di Rumah Sakit Lima Loayza, ia bergegas untuk memeriksanya. “Sesampainya di kamar mayat, saya bertemu seseorang yang saya kenal,” katanya. “Saya bertanya kepadanya apakah ada dua mayat dengan luka peluru. ‘ Ya,’ dia mengatakan kepada saya, ‘tetapi mereka baru saja mengambilnya.'”
Beberapa bulan setelah tragedi itu, Castaneda didatangi oleh seorang pria tua yang mengatakan kedua putranya, keduanya mahasiswa kedokteran, telah berangkat dari provinsi untuk menonton pertandingan dan tidak pernah kembali.
“Meskipun dia sudah mencari nama mereka di antara daftar korban tewas, dia tidak dapat menemukan mereka,” kata Castaneda kepada saya.
“Dia telah melakukan penyelidikan lebih lanjut, tetapi tidak menemukan apa pun. Jadi saya mengatakan kepadanya bahwa saya punya berita beberapa orang meninggal setelah ditembak dan bahwa, sayangnya, saya tidak akan pernah dapat menemukan identitas mereka karena semuanya telah disembunyikan dari saya.”
Dalam laporannya, Castaneda mengatakan jumlah korban tewas yang diberikan oleh pemerintah tidak “mencerminkan jumlah korban yang sebenarnya, karena ada kecurigaan yang kuat tentang pemindahan rahasia mereka yang terbunuh oleh peluru”.
Ia kemudian menuduh menteri dalam negeri saat itu mendalangi masuknya penonton ke lapangan serta polisi merespons dengan brutal guna menghasut kerumunan supaya melakukan kekerasan – sehingga menjadi alasan melakukan tindakan kejam.
Pertunjukan kekuatan itu dimaksudkan, kata Castaneda, untuk “membuat masyarakat belajar, dengan darah dan air mata” bahwa ada risiko jika menentang pihak berwenang.
Sementara itu pihak pemerintah menyalahkan kelompok komunis Trotskyis.
Jorge Salazar, seorang jurnalis dan profesor yang menulis buku tentang bencana itu, mengatakan masyarakat Peru pada saat itu sedang sangat bergejolak.
“Itu tahun enam puluhan, masanya the Beatles, Fidel Castro lagi mode – semuanya di dunia berubah ,” katanya.
“Di Peru, orang-orang untuk pertama kalinya bicara tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan buruh dan partai komunis. Kelompok-kelompok kiri cukup kuat, dan selalu terjadi bentrokan antara polisi dan rakyat.”
Banyak penggemar sepak bola yang lolos dari gas air mata, tampaknya ingin membalas dendam pada polisi. Dua polisi tewas di dalam stadion. Dan pertempuran berlanjut di jalan-jalan di luar.
Lima puluh tahun kemudian, anggota Kongres Peru Alberto Beingolea, meminta rakyatnya mengheningkan cipta selama satu menit untuk menghormati korban tewas. Dia meragukan kalau kekerasan itu sudah di rencanakan. Baik oleh pemerintah maupun kelompok revolusioner.
Alberto Beingolea yakin ada orang-orang yang meninggal karena luka tembak. ”Kematian karena penembakan mungkin terjadi. Terutama jika Anda berada dalam iklim kekacauan – seperti yang terjadi di era itu,” katanya. “Ketika seseorang menyebabkan kekacauan, polisi harus merespons – dan kapan saja, itu dapat mengakibatkan penembakan.”
Peru tidak pernah melakukan upaya serius untuk mengusut tuntas penyebab bencana di Estadio Nacional, dan ini mungkin tidak akan pernah terjadi.
Yang kita ketahui adalah bahwa mereka yang terkena hukuman hanya segelintir orang.
- Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, mendapat hukuman 30 bulan penjara.
- Terhukum lainnya adalah Hakim Castaneda sendiri. Ia hanya mendapat denda karena terlambat menyerahkan laporannya enam bulan. Dan karena gagal menghadiri semua 328 otopsi seperti yang seharusnya dia lakukan.
Kepala Institut Olahraga Peru – salah satu dari empat peraih medali Olimpiade negara itu, Francisco Boza – menghubungi keluarga yang terdampak tragedi tersebut, Ia mengundang mereka ke misa yang sudah lama tertunda di Katedral Lima. Namun masih belum ada plakat yang terpajang di Estadio Nacional untuk memperingati mereka yang tewas dalam bencana paling mematikan sepanjang sejarah sepak bola.
Penulis: BBC/Alyaa