Menelusuri Jalur Perjalanan Nabi Ibrahim di Palestina

Baca Juga

MATA INDONESIA, AMMAN –  Terbentang dari kota Jenin di utara hingga kota Hebron yang terletak di bagian selatan, Masar Ibrahim merupakan sebuah jalan setapak sepanjang 321 km di Tepi Barat Palestina. Karena memiliki sejarah yang menarik, disinilah Nabi Ibrahim AS melewati jalur itu. Kini pemerintah Palestina menjadikannya sebagai obyek pariwisata.

Sayangnya, peperangan yang sedang terjadi saat ini membuat jalur Ibrahim di Suriah dan di bagian selatan Turki jauh dari kata aman. Meski begitu, hal itu tidak mengkhawatirkan karena jalur Ibrahim yang ada di Tepi Barat masih tergolong baik baik saja kondisinya. Maka tak heran, ratusan wisawatan asing dan warga lokal Palestina dapat menggunakan jalur itu setiap tahunnya.

Salah seorang pemilik homestay yang berada di jalur tersebut, Rand Murra mengatakan bahwa sebenarnya jalur ini aman-aman saja dan tak pernah tersentuh oleh peperangan. Meski sekarang sedang dilanda pandemi Covid-19, namun masih banyak wisatawan yang datang menyusuri jalanan tersebut.

”Banyak tamu yang mengatakan kepada kami, bahwa ketika mereka menyampaikan kepada teman temanya mereka akan pergi ke Palestina, mereka akan merespons dengan kalimat ‘ada perang dan jangan pergi kesana berbahaya. Dan Anda bisa lihat apakah benar seperti gambaran di media-media bahwa daerah ini rawan? aman-aman saja kan?” ujarnya.

Rand Murra mengelola homestay bersama ibunya Misada Muadi untuk para pejalan di Desa Kafr Malik, terletak di 800 meter di atas permukaan laut sekitar 25 km bagian timur laut kota Ramallah.

Ibunya dikenal sebagai wanita yang rajin membereskan seluruh kamar untuk para pengunjung. Kamar di homestay ini rapih dan bersih. Di setiap permukaan dilapisi dengan tatreez, sulaman tradisional Palestina. Kemudian, untuk bantal, hiasan dinding dan kursinya dilapisi deretan zamrud, glok serta sulaman bewarna safir.

Mereka berdua dikenal baik hati dan ramah kepada pengunjung. Ibunya tidak segan untuk memperlihatkan gaun pernikahan yang pernah digunakan olehnya saat menikah. Thobe, gaun pernikahan yang dibordir, dijahit dengan benang merah dan ungu. Ia mengatakan bahwa hingga pertengahan abad ke 20, pakaian itu masih digunakan untuk menunjukan darimana mereka berasal. ”Kami menunjukan pakaian ini kepada tamu tamu ketika mereka datang. Benar saja, banyak orang yang terinspirasi dan menyukainya,” kata Rand Murra.

Ia pun juga menambahkan sekali lagi bahwa kedatangan para pengunjung membuatnya sangat senang. “Kami selalu menyambut setiap orang, dan tidak memandang dari mana mereka berasal. Karena kami gembira bisa mengenal mereka sambil belajar budaya dan adat istiadatnya,”kata Rand Murra.

Desa Dibakar

Kondisi aman tersebut berkat kerja keras dari Tim koordinasi Masar Ibrahim. Demi pariwisata tim ini mengatasi berbagai hambatan seperti meminta keringanan terhadap pos pemeriksaan militer yang dioperasikan oleh Israel dan Palestina.

Namun tak semua perkataan Rand Murra bahwa wilayahnya aman. Tetap saja saat melewati Desa Duma, 25 km dari tenggara Nablus. Situasi disana masih diselimuti kesedihan. Tahun 2015 ada sekitar 3.500 orang yang rumahnya dibakar. Anwar, salah satu pemandu mengatakan bahwa insiden itu meninggalkan luka yang cukup dalam. ”Saya selalu membawa para pejalan kaki ke rumah rumah itu. Saya tidak suka datang kesini, tetapi kita harus melihatnya,” kata Anwar.

Perjalanan dari Nablus ke Ras al-Auja melalui perkebunan zaitun dan buah persik, melewati lereng batu dan sekitar pembatas ladang-ladang. Ada yang ditanami dengan gandum dan sereal lain. Ada pula yang tampak dibiarkan kosong, dipenuhi oleh bunga poppy liar dan pohon berduri ungu.

Tapi tak usah khawatir. Dibalik kesedihan selalu ada celah kegembiraan. Misalnya ketika Anda terus menyusuri jalan ini. Anda akan bertemu wanita pembuat bir yang ramah dan riang bernama Madees Khoury yang bekerja untuk Taybeh Brewing Company.

Madees tinggal di desa Kristen Taybeh. Ia akan menyambut siapapun wisatawan yang datang ke tokonya. Ia akan bercerita bahwa tokonya itu menjadi tempat penyulingan bir pertama di Timur Tengah. ”Ketika orang mengetahui tentang festival Oktober kami, mereka terkejut. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa sayalah yang membuat bir. Saya bukan tipikal perempuan pada umumnya, saya bisa mengemudikan forklift, membawa kotak bir bahkan sempat berkelahi dengan supir truk,” ujar Madees Khoury.

Ali Abu Khurbesh, pemilik homestay di jalur Masar Ibrahim mengatakan bahwa dirinya tidak peduli dengan garis antara Yahudi dan Arab. ”Kami bekerja dengan orang Yahudi, dan kami tidak mencari masalah dengan mereka. Malah, mereka mengunjungi kami disini sambil minum teh bersama. Kebahagiaan tidak datang melalui mobil mobil dan kantor kantor. Kita bisa mendapatkannya di mana saja, dan saya menemukannya di sini. Saya orang Badui, disinilah tempat saya,” kata Ali Abu Khurbesh.

Reporter : R Al Redho Radja S

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkomitmen Mewujudkan IKN Sebagai Kota Ramah Lingkungan

Oleh: Dewi Ambara* Indonesia kini memasuki era baru dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dipimpin oleh Presiden...
- Advertisement -

Baca berita yang ini