MATA INDONESIA, JAKARTA – Teuku Markam dikenal menjadi salah satu konglomerat Indonesia pada era Presiden Soekarno. Komitmen Teuku Umar adalah mendukung perjuangan RI dengan cara mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Hasil bisnisnya sering kali disebut ikut menjadi sumber APBN, bahkan dirinya juga menyumbang 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Ia mensukseskan proyek yang digandang-gadang Soekarno menjadi monument yang bisa meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Perjuangannya tak selalu dibalas baik oleh pemerintah Indonesia. Pada zaman Soeharto, hidupnya menjadi sulit dan memprihatinkan, ia tak mendapat kebebasan seperti sebelumnya. Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih semua aset Teuku Markam.
Peran dan sumbangan besarnya untuk membangun perekonomian bangsa tidak berarti di mata pemerintahan Orde Baru. Ia dituding sebagai koruptor hingga dicap menjadi bagian PKI. Pada 1966 juga ia dijebloskan ke dalam jeruji besi tanpa ada proses pengadilan.
Tak sampai di sana, berkali-kali ia diasingkan dari satu penjara ke penjara lainnya. pertama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, kemudian ke Salemba, lanjut ke tahanan di Cipinang, dan terakhir mendekam lama di Nirbaya tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur.
Ia baru bebas pada tahun 1974 berkat bantuan dari teman-teman sejatinya. Ia dibebaskan meskipun tetap menjalankan konpensasi dari pemerintah.
Keluar dari penjara, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya pada 1974. Kala itu ia dipercaya menggarap proyek-proyek raksasa Bank Dunia untuk infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Namun, setelah jadi tak satupun proyek tersebut diresmikan oleh pemerintah Soeharto.
Proyek Markam dianggap angina lalu tanpa sedikitpun digubris oleh pemerintah. Pada 1985, Teuku Markam menghembuskan nafas terakhir akibat komplikasi berbaai penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Sampai akhir hayatpun, pemerintah tak pernah melihat jasa dan merehabilitasi namanya, hingga saat ini. Sementara salah satu sajanya, terus dikenang sebagai monumen kebanggaan Indonesia.
Jauh sebelum itu, Teuku Markam adalah seorang anak yatim piatu yang ditinggalkan kedua orang tuanya saat ia masih berusia Sembilan tahun. Putra asli Aceh ini pun tidak sampai mencicipi pendidikan yang layak, ia hanya sampai kelas empat Sekolah Rakyat (SR).
Namun, dirinya bergabung dengan tentara setelah menjalani kegiatan wajib militer di Koeta Radja, Banda Aceh. Ia memiliki tekad yang kuat untuk membantu menyelesaikan segala kondisi yang buruk pada negeri ini.
Selama bertugas, ia aktif di berbagai lapangan pertempuran. Sebagai prajurit penghubung, ia diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Bahkan, ia juga menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Inilah yang menjadi awal keterkenalannya di kancah nasional Indonesia.
Saat Gatot Soebroto meninggal dunia, ia mempercayakan Teuku Markan untuk bertemu dengan Soekarno membahas kondisi perekonomian yang sedang melanda Indonesia.
Tahun 1957, saat Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), Ia kembali ke Aceh dan mendirikan PT Markam. Perusahaan rintisannya itu berkembang sangat pesat hingga ia dipercaya oleh pemerintah daerah bahkan pusat untuk mengelola berbagai macam proyek.
Teuku Markam memang menggeluti dunia usaha dengan berbagai macam asset berupa beberapa kapal yang tersebar di Medan, Palembang, Jakarta, hingga Surabaya. Bisnisnya semakin luas karena Markam juga terjun dalam sejumlah proyek ekspor-impor.
Ia sebagai konglomerat dikenal sangat dekat dengan Soekarno dan sejumlah pejabat lainnya seperti, Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, dan masih banyak lain.
Pada zaman itu, kepopulerannya luar biasa, sampai-sampai dirinya dikatakan sebagai cabinet bayangan Soekarno. (Maropindra Bagas/R)