Keunikan Tradisi Merajut oleh Para Pria di Peru

Baca Juga

MATA INDONESIA, TAQUILE – Merajut adalah kegiatan para wanita. Namun hal itu tidak berlaku di Taquile, sebuah pulau terpencil yang terkenal akan tekstil dan pakaiannya, di Peru, tepatnya terletak di sebelah sisi Danau Titica. Di pulau yang hanya berpenghuni 1.300 orang itu, nilai seorang laki-laki dilihat dari kemampuannya dalam merajut.

Biasanya mereka merajut chullo yang ikonik (topi khas wilayah Andes). Melalui kerajinan ini, para pria akan menunjukkan kreativitasnya dengan menampilkan status pernikahan, impian, serta aspirasi mereka. Dan, juga untuk menunjukan suasana hati mereka. Chullo adalah budaya yang penting, oleh karena itu para penduduk pulau sangat berusaha untuk terus melestarikannya.

Pria di Peru merajut Chullo
Pria di Peru merajut Chullo

Desain chullo hadir beriringan dengan penaklukan Spanyol di negara itu pada tahun 1553. Menurut cerita tetua pulau, kakek Alejandro. Ia menyampaikan kisah-kisah para penakluk awal yang mengenakan topi serupa yang berwarna putih dengan penutup telinga, “Tetapi tidak menampilkan pola atau simbol yang sama,” kata Alejandro.

Anak-anak merajut Chullo berwarna putih saat mereka berusia lima atau enam tahun. Dengan berjalannya waktu, mereka menggunakan wol domba, yang metodenya sudah sempurna sehingga dapat menjadi bahan merajut topi dengan rajutan yang kecil dan rapi.

Dalam hal menarik pasangan, chullo beperan sebagai media seorang pria yang akan memilih pasangannya. Para calon pasangan akan melihat dari kemampuan para pria dalam merajut sebuah chullo dengan jarum kawat tipis dan kecil. Rajutan chullo yang bagus dan rapi, serta mampu menahan air di dalam topi untuk menempuh jarak jauh, dapat menandai bahwa seorang pria itu adalah calon pasangan yang baik.

Alejandro mengenang masa 44 tahun silam, ketika calon istrinya Teodosia Marca Willy, merasa berkesan dengan chullo yang ia buat. Karena ketika itu chullo buatannya mampu menahan air hingga 300 meter tanpa ada satu tetes pun yang terjatuh.

“Dia melihat keterampilan yang baik rupanya di chullo saya. Saya dulu membuat topi yang sangat bagus; saya adalah perajut yang baik,” katanya.

“Para gadis-gadis mencari chullo terbaik. Jadi jika Anda memakai topi yang bagus, Anda punya lebih banyak [peluang] untuk mendapatkan pacar lebih awal dan lebih cepat,” ujar Juan, seraya menjelaskan bahwa pengujian chullo terbaik sering menjadi tontonan publik – ketika sang ayah mertua menguji kualitas rajutan calon pengantin pria.

“[Ketika] mertua [menuangkan] air di chullo, maka calon pengantin pria harus bisa menunjukkan air di dalam chullo itu kepada semua orang yang berkumpul di sana. Semua keluarga yang berkumpul harus bisa melihat air itu di dalam topi,” katanya.

Keunikan yang ada di setiap chullo menggambarkan tiap orang yang merajutnya, terutama ikonografi dan warna. Seperti misalnya mawar enam kelopak (yang merepresentasi enam kelompok komunitas di pulau itu); terdapat juga burung-burung seperti kuntul kerbau dan kondor Andes; serta hewan seperti domba.

Yang sangat populer adalah simbol-simbol agrikultur. Hal ini karena ketergantungan komunitas terhadap tanaman dan bunga asli setempat dalam menentukan waktu terbaik untuk menanam benih atau merotasi tanaman kentang, quinoa, atau jagung mereka.

Wol merah dalam rajutan topi melambangkan pertumpahan darah di masa lampau, dan warna biru adalah tanda penghormatan kepada Mama Cocha – danau setempat yang menjadi sumber makanan bagi komunitas itu.

Selain chullo, budaya lain di pulau ini adalah chumpi. Penyatuan rambut milik perempuan ke dalam tenun sabuk berwarna-warni yang sebelumnya diberikan kepada calon pengantin pria di hari pernikahan mereka. Proses menenun ini dilakukan oleh para perempuan.

Ilustrasi yang terdapat di ikat pinggang itu biasanya mencerminkan gambar yang ada pada topi chullo. Ketika seorang pemuda pria masih lajang, rambut di dalam chumpi miliknya adalah milik ibunya. Setelah dia menikah, rambut yang digunakan adalah milik istrinya.

Motif pada chumpi adalah keunikan bagi setiap keluarga dan wilayah pulau. Sebutan Chumpi adalah “sabuk kalender”, dengan 12 panel untuk mewakili 12 bulan dalam setahun.

“Ketika kita melihat seorang teman, kita memperhatikan ikat pinggangnya. Hanya dengan melihat ikat pinggangnya… kita bisa tahu rencana apa yang dia punya. Kita bisa membaca hanya dengan melihat ikonografi dan warnanya.”

“Jika gadis itu penenun yang sangat baik, maka Anda akan melihat banyak simbol dan pola pada sebuah chumpi,” kata Alejandro. “Mereka bisa menceritakan keseluruhan cerita di sabuk itu.”

Fungsi dari chumpi lainnya adalah sebagai penyangga punggung yang mereka pakai saat bekerja menabur benih dan bertani, serta untuk mencukur bulu domba.

Dalam upaya melestarikan budaya-budaya ini, para orang tua di Tequile akan mengajarkan keterampilan ini kepada putra-putri mereka. Sehingga, keterampilan itu nantinya akan terus turun dari satu turunan ke turunan berikutnya.

Reporter: Sheila Permatasari

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Jelang Penetapan Kenaikan UMK 2025, KSPSI Gunungkidul Minta Kenaikan UMK Minimal 10%

Mata Indonesia, Gunungkidul - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Gunungkidul masih menunggu rapat koordinasi lanjutan penetapan besaran upah minimum kabupaten dan terus mengawal penetapan UMK 2025 di Kab. Gunungkidul agar mencapai target minimal 10%.
- Advertisement -

Baca berita yang ini