MATA INDONESIA, JAKARTA – Jalaluddin Rumi merupakan penyair Persia abad ke-13. Ia dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sepanjang masa. Dalam 25 tahun sisa hidupnya, Rumi menyusun lebih dari 70.000 puisi yang dikumpulkan dalam 2 jilid berbeda.
Di awal tahun 2000-an, Rumi menjadi salah satu penyair yang paling banyak dibaca di Amerika. Karena bakat dan kreativitasnya, banyak yang beranggapan ia sekelas dengan Mozart, Beethoven, dan Shakespeare.
Rumi memiliki nama asli Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad ibn Husain Bahauddin ibnu Ahmad al-Khatibi. Namun, julukan Rumi yang disematkan pada dirinya dikarenakan sang sufi ini menghabiskan sebagian hidupnya di Konya, Turki (bangsa Arab menyebutnya ar-Rum).
Lahir pada 30 September 1207 di Balkh, Persia Utara, Rumi memiliki garis keturunan ahli hukum, teolog, dan mistik Islam. Ayahnya, Bahauddin Walad merupakan seroang tokoh ulama dan guru besar di negerinya pada masa itu. Sedangkan dari garis keturunan ibunya, Rumi merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat.
Ketika Rumi menginjak usia 12 tahun, Bahauddin diam-diam meninggalkan kota Balkh. Ia meninggalkan kota asalnya tersebut guna menghindari kaum Mongol yang saat itu tengah membumihanguskan Khurasan dan sudah mendekati Balkh.
Karena sadar tidak akan kembali, Bahauddin mengajak keluarganya dan beberapa sahabatnya. Nishapur, merupakan kota pertama yang mereka kunjungi selama perjalanan. Di mana menurut riwayat, Rumi bertemu dengan Farid al-Din Attar, seorang penyair terkenal yang menghadiahi salinan karyanya, Asar Nameh (Kitab Misteri). Farid memberitahukan Bahauddin bahwa putranya kelak akan menyalakan api pencinta Ilahi.
Dari Nishapur, mereka bertolak ke beberapa tempat, termasuk Baghdad dan Damaskus. Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk menetap di Konya.
Setelah wafatnya Bahauddin pada 1230, Rumi menggantikan peran ayahnya tersebut sebagai pengajar. Karena sudah dididik secara matang, Rumi dengan cepat memperoleh kedudukan tinggi dimata para muridnya.
Di mata Badrudin Kaharnasy, seorang Amir Bani Saljuk, menyumbangkan banyak harta dan mendirikan madrasah untuk Rumi, yang dikenal sebagai Madrasah Khadawan-Dakar. Atas saran Burhan al-Din, Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo. Di sana, ia merajut ilmu di Madrasah Halawiyah dan menerima bimbingan lebih lanjut dari Kamal al-Din bin al-Azhim.
Dari Aleppo, Rumi pindah ke Damaskus dan menetap di Madrasah Maqdisiyah. Di sana, ia mendapat kesempatan untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh agung seperti Muhyi al-Din Ibnu Arabi, Sa’ad al-Din al-Hamawi, Utsman al-Rumi, Ahwad al-Din al-Kirami, dan Sadr al-Din al-Qunyawi.
Pada tahun 1236, Rumi kembali ke Konya. Ia mengajar di Madrasah Kudhavangar dan menarik perhatian murid-murid dari berbagai penjuru. Bahkan, Ia mendapat perhatian dari para raja, pangeran, dan perdana menteri.
Bertahun-tahun Rumi memperoleh ketenaran serta menempati posisi sebagai pempimpin dan ulama di Konya. Hingga pada tahun 1244, Syam al-Din Tabriz mengunjungi kota tersebut. Peristiwa ini mendorong Rumi untuk meninggalkan ketenaran dan mengubah dirinya dari seorang teolog terkemuka menjadi penyair mistik.
Setelah keduanya bertemu, semangat mengajar dalam diri Rumi menjadi sirna. Ia memilih untuk menenggelamkan dirinya pada alunan lagu-lagu ghazal yang mempengaruhi jiwa. Hal ini menimbulkan kemarahan bagi pengajar fiqih, hingga mereka menghasut pengikut Rumi.
Satu per satu pengikut Rumi meninggalkannya dan berpindah kepada Fuqaha tersebut. Fitnah telah memperdaya masyarakat Konya hingga Syam al-Din Tabriz meninggalkan kota tersebut secara diam-diam.
Kejadian ini meninggalkan kesedihan yangn mendalam di hati Rumi, untuk mengobatinya ia pun semakin sering menyanyikan lagu-lagu ghazal. Hingga, lahir majelis baru dimana sang pemberi fatwa mengundang masyarakat untuk menyimak permainan musiknya.
Jiwa Rumi semakin matang seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Suatu ketika, ia mengangkat salah seorang muridnya menjadi sahabat rohaninya, Celebi Hasamuddin,
Rumi juga memuji ketinggian rohani Hasamuddin dalam beberapa bagian dalam kitab Matsawi-nya. Hasamuddin merupakan murid spesial dan mendapat kehormatan dari sang guru. Persahabatan nya dengan Hasamuddin telah menimbulkan inspirasi, dalam salah satu syairnya Rumi berkata :
“Dialah kunci khazana Arasy
Dialah Bayazid hari ini. Junaid masa kini
Dialah anakku. Dialah bapakku
Dia cahaya bagiku, sekaligus mataku”
Pada tahun 672 H, Rumi merampungkan jilid ke-6 kitab Mastawi-nya. Saat itu usianya sudah tak muda lagi, kesehatannya pun menurun hingga ia jatuh sakit. Rupanya alam semesta turut merasakan sakit yang dialami Rumi, medadak gempa besar menggoncang Konya. Seluruh masyarakat kota ketakutan, ditambah rasa khawatir dengan kondisi Rumi yang kian memburuk.
Diriwayatkan, pada malam terakhir sebelum Rumi wafat, ia sempat menyenandungkan sebuah ghazal dan menampakkan kebahagian di wajahnya.
“Di malam sebelum aku bermimpi melihat seorang Syekh diperalatan rindu.
Ia menudingkan tangannya kepada ku dan berkata: ‘Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku’”
Konon, syair ini merupakan bait terakhir yang digubah oleh Rumi. Ia mengubah syair-syair indah menjadi piranti dalam memperbaiki jiwa yang rusak. Hal ini bisa dilihat dalam karya-karyanya yang selalu dijadikan rujukan bagi kaum sufi dan orang-orang yang ingin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta.
Pada 16 Desember 1273, bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, Rumi menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu ia berusia 68 tahun. Malam itu, seluruh masyarakat kota Konya berkabung.
Saat jenazah ingin dikebumikan, masyarakat berbondong-bondong datang untuk melihat sang sufi untuk terakhir kalinya. Tak hanya orang Islam, para pemeluk agama lain turut menangisi kepergian nya.
Di pagi buta, jenazah Rumi diberangkatkan. Banyak masyarakat yang mengiringi kepergian nya. Mereka saling berebut untuk memikul, atau menyentuh keranda nya. Tidak heran, jika iring-iringan jenazah nya baru sampai ke tempat pemakaman pada sore hari dan dikubur pada malam harinya.
Reporter: Diani Ratna Utami