MATA INDONESIA, BANDUNG – Tak ada musisi sebengal Harry Roesli. Ia seniman serba bisa. Musisi jempolan yang bisa memainkan alat musik apapun, komposer hebat, guru musik dan pemain teater.
Bakat seni yang kental merupakan warisan dari atmosfer keluarga yang mencintai seni. Sebagai musisi dan seniman serba bisa, Harry Roesli merupakan figur yang memiliki perjalanan hidup yang menarik. Karya-karya musiknya hingga sekarang masih didengar. ”Mas Harry seorang komposer tiada duanya. Dia seorang seniman ‘pluralistik’. Dia juga pemersatu musisi di Bandung dan Indonesia. Sulit mencari figur pengganti dia,” kenang Hary Pochang, sahabat Harry Roesli, kepada Mata Indonesia.
Menurut Potchang yang juga sama-sama musisi ini, Harry Roesli berhasil menuangkan berbagai kreativitas seninya terhadap idealisme seorang ‘seniman sosial’. Ia kritis terhadap rezim pemerintahan yang kurang sejalan dengan pemikirannya dan tetap bertahan meski ada perubahan rezim. ”Hanya Harry Roesli yang berani bicara kritis dan santai dengan Pak Habibie saat presiden ketiga ini berkuasa. Saat itu Pak Habibie datang ke kediaman keluarga Harry Roesli. Pak Habibie dulu pernah diasuh dan dirawat keluarga Harry Roesli. Saat bertemu, Pak Habibie sempat menanyakan kepada Harry Roesli kenapa masih mengeritik dia soal PTDI (PT Dirgantara Indonesia). Dengan santainya Mas Harry menjawab, karena kita saudara jadi saya bebas kritik tanpa harus ditangkap,” ujar Erick Yusuf, Ustaz yang dulu merupakan anak didik Harry Roesli.
Selain sebagai seorang seniman, Harry Roesli juga pelatih musik. Karya-karyanya yang seolah jauh dari nilai komersil merupakan alat yang digunakan dalam mengekspresikan perasaan hatinya terhadap situasi sosial dan politik yang sedang terjadi. Beberapa ekspresi perasaanya sering ditularkan kepada anak didiknya lewat berbagai cara, termasuk mewadahi para anak-anak jalanan lewat pelatihan musik. ”Itu yang membuat saya kagum dan jatuh cinta sama Harry Roesli. Mungkin hanya dia yang membuat saya bisa nyambung saat berbicara. Sejak Almarhum meninggal, saya kehilangan suami, teman dan kawan diskusi,” kata Kania Perdani.
Karya musik Harry Roesli memang agak sulit dipahami di masa itu. Sekarang, setelah Harry meninggalkan dunia pada 11 Desember 2004 lalu, banyak anak muda yang tergerak untuk mendengarkan lagi karya-karya Harry Roesli. Beberapa anak muda menurut Harry Potchang membawakan karya Harry Roesli dengan aransemen baru. ”Tapi memang sulit memahami musik Harry Roesli. Dan saya juga termasuk orang yang sangat takjub dengan karyanya. Musik karya Harry Roesli tak lekang dengan perubahan zaman,” ujar Harry Potchang.
Ia pun berkisah saat pertama kali berkenalan dengan Harry dan kemudian membentuk band bernama Batu Karang. Saat itu mereka bersama musisi-musisi Bandung membentuk band bernama ‘Philosophy Gang of Harry Roesli’ pada tahun 1973. Bandnya itu terdiri dari Albert Warnerin (gitar), Janto Soedjono (drum, perkusi), Indra Rivai (keyboard), Harry Pochang (harmonika, vokal) dan Dadang Latief (gitar). ”Proses bermusik Harry Roesli selama hidupnya sangat dipengaruhi oleh orang–orang yang berada di sekitarnya ataupun kecendrungan musik dari luar negeri,” ujar Potchang.
Harry Roesli cukup produktif. Bersama bandnya ia merilis 13 album selama 1973-1979. Menurut Potchang, musik yang dibawakan bandnya itu menggabungkan berbagai jenis musik. Ada rock, funk, folk, blues, R&B serta jazz. ”Meski sangat kental dengan nuansa Jazz, Mas Harry tak ingin terkotak dalam satu genre musik. Dia adalah musisi spontan. Karya-karyanya dibuat dengan cara spontan. Saya kadang bingung dengan pemikiran Mas Harry,” ujarnya.
Menurut Potchang, jika ingin memahami karya Harry Roesli, dengarkanlah album pertama band ini. Philosophy Gang of Harry Roesli yang direkam di Musica Record tahun 1973. ”Album ini mendapat pujian tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar. Termasuk menjadi referensi musik di Jerman,” katanya.
Album pertama ini memang luar biasa. Harry Roesli secara jenius berhasil memadukan rock dengan blues, funk, dan jazz.
Kombinasi tersebut melahirkan lagu bertajuk Don’t Talk About Freedom. sebuah komposisi panjang hampir sembilan menit yang tersusun atas solo keyboard, ketukan perkusi yang gemulai, hingga raungan gitar dan tiupan harmonika yang saling bersautan. Hasilnya? luar biasa.
Harry Roesli pun mulai melirik musik tradisional. Dan ini dituangkannya dalam album kedua, Titik Api. ”Disinilah Mas Harry mulai memadukan musik tradisional (pentatonik) yang direpresentasikan melalui instrumen musik gamelan, terompet pencak, karinding dan lain-lain dengan unsur musik modern (diatonik) yaitu gitar, bas, drum, keyboard,” ujarnya.
Harry juga sangat terpengaruh dengan musik progresif yang saat itu jadi tren di Eropa dan Amerika. ”Frank Zappa dan Gentle Giant lah yang sering kami diskusikan,” kata Potchang.
Sejak sekolah di SMA 2 Bandung, Harry Roesli rutin mendengarkan The Rolling Stones, Gentle Giant, Emerson Lake and Palmer, Pink Floyd hingga John Milton Cage Jr. Namun Harry Roesli sangat terpikat dengan Frank Zappa.
Harry memperkenalkan gaya kontrapung (komposisi musik dengan gaya bersahut-sahutan atau jalur melodi berlawanan) dan lirik dengan pola penulisan ala Frank Zappa. ”Lirik mas Harry memang unik. Dengarkan saja lagu Malaria,” kata Potchang.
Ken Arok
Puncak kejeniusan Harry Roesli tak hanya di bidang musik saja. Pada 12 April 1975, Nama Harry Roesli dikenal dengan membuat pertunjukan “Rock Opera Ken Arok” di Gedung Merdeka Bandung. Saat itu seperti dikutip Majalah Aktuil, Harry Roesli menamakan kegiatannya Wayang Orang Kontemporer. Pergelaran yang banyak menarik perhatian itu dipentaskan ulang pada 2 Agustus 1975 di Balai Sidang Jakarta. Rock Opera Ken Arok-nya mulai merambah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk ke Semarang pada Januari 1976.
Menurut Potchang, Ken Arok adalah salah satu proyek ambisius Harry. ”Teater Ken Arok terinspirasi oleh pementasan bertajuk Jesus Christ Superstar yang dibawakan Remy Sylado dan kelompoknya,” kata Harry Potchang.
Selain aksi teater yang unik, pementasan Ken Arok juga jadi ajang kegilaan Harry dalam memainkan banyak instrumen. Selain alat musik biasa, Harry juga menggunakan barang sehari-hari sebagai bagian dari upaya eksplorasi bunyi: dari mulai pintu sampai level panggung.
Pementasan Ken Arok menarik minat banyak orang. Harry menempatkan pentas teater sebagai sesuatu yang umum, pentas bisa dinikmati siapa saja, apa pun latar belakangnya.
Di balik karya-karyanya, Harry tak lupa menyelipkan kritik sosial. Targetnya? Orde Baru. Opera Ken Arok pun sarat kritik. Harry Roesli sengaja mengambil tokoh Ken Arok agar masyarakat tahu bahwa ambisi untuk berkuasa terkadang membuat gelap mata dan menghalalkan segala cara. Dan itulah yang sedang terjadi kala Orde Baru berada di singgasananya. ”Mas Harry lewat karya-karyanya menangkap kegelisahan itu dengan baik,” ujar Harry Potchang.
Harry kini meninggalkan warisan luar biasa buat keluarga dan Indonesia. Selain karya-karyanya, Harry juga meninggalkan Rumah Musik Harry Roesli (RMHM). Segala bentuk kegiatan berkesenian ada didalamnya. Salah satunya adalah Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB). RMHM hingga sekarang masih ada dan memiliki formula yang unik dalam merekrut anak-anak jalanan untuk menjadi musisi.
Inilah 13 album Harry Roesli
1. Philosophy Gang of Harry Roesli – Musica record – Lion Record 1973
2. Titik Api – Aktuil Musicollection 1976 (album solo)
3. Ken Arok – Eterna 1977 (album solo)
4. Tiga Bendera – Musica Studio’s 1977 (album solo)
5. Gadis Plastik – Chandra Recording 1977
6. LTO – Musica Studio’s 1978
7. Harry Roesli dan Kharisma 1 – Aneka Nada (1977)
8. Musik Akustik Monticelli – Hidayat Audio (1977) (kompilasi)
9. Harry Roesli dan Kharisma 2 – Aneka Nada (1978)
10.Jika Hari Tak Berangin – Aneka Nada (1978) (album solo)
11.Daun – SM Recording (1978) (album solo)
12.Ode dan Ode – Berlian Record (1978) (album solo)
13. Kota Gelap – Purnama Record (1979) (album solo)