MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah satu kisah pembunuhan di zaman romawi yang masih terkenang sampai saat ini karena kedramatisannya adalah kisah pembunuhan Julius Caesar.
Mengapa tragis? Hal ini karena pembunuhnya adalah putra kesayangannya sendiri. Anak angkatnya menjadi salah satu bagian dari sekelompok konspirator yang ingin membunuh Julius Caesar.
Caesar, lahir dari keluarga Julii, yang meski merupakan keluarga yang sudah ada sejak lama tetapi bukan keluarga aristokrat terkemuka. Julius Caesar memulai karier politiknya pada 78 SM sebagai seorang penuntut untuk Partai Rakyat. Dia mendapatkan posisi di partai itu karena pandangan reformis dan kemampuannya berpidato.
Pada 59 SM, ia berhasil menjadi konsul, jabatan tertinggi di Republik Roma. Konsul ini menjadi komandan tentara, memimpin senat dan melaksanakan dekrit Senat, serta mewakili negara dalam urusan luar negeri.
Di bawah pemerintahan Julius Caesar, Romawi mulai mewujudkan mimpinya dan berhasil menguasai setengah Eropa. Keberhasilannya mengalahkan bangsa Galia di Prancis menjadi buku dengan judul Oe Belo Gallica. Ia juga terkenal dengan pesannya di perang Asia, yaitu Veni, Vidi, Vici yang artinya saya datang, saya melihat dan saya menang.
Karena kesuksesannya, ia membuat suatu hukum berdasarkan pemikirannya sendiri. Hal tersebut memicu kemarahan para sesepuh dan bangsawan Romawi. Mengetahui hal tersebut, Caesar melakukan kudeta dan menyerang pemerintahan Romawi. Kemenangan ini menyebabkan Caesar menjadi penguasa Romawi.
Pembunuhan pada 15 Maret 44 SM di dekat Teater Pompey. Ia terbunuh saat pertemuan senat dalam ruang tertutup Curia of Pompey dengan tikaman sebanyak 23 kali.
Flavius Eutropius, seorang sejarawan Romawi dari abad ke-4 Masehi menuliskan sebuah laporan post-mortem. Bahwa dari 23 luka tusuk, hanya ada 1 tusukan yang fatal di dada Caesar sampai menghancurkan aortanya. Sedangkan beberapa luka tusukan lainnya tidak dalam dan tidak melukai organ vitalnya.
Eutropius menceritakan bagaimana pengkhianatan Brutus bersama senator ini terjadi karena mereka merasa tidak puas melihat situasi dan kondisi Republik Roma di bawah Caesar.
Ia telah menjadi diktator yang sewenang-wenang dan acap menerbitkan sejumlah undang-undang yang mengukuhkan kedudukan dan kekuasaannya dalam pemerintahan Monarki Absolut.
Padahal, Brutus pada mulanya merupakan sahabat Caesar dan rekan seperjuangan hingga ia menjadi anak angkat Caesar.
Ide untuk mengkhianati Caesar sebetulnya berasal dari provokasi Cassius dan Casca. Mereka adalah dua senator yang menggalang kekuatan politik untuk menjungkalkan Caesar dari kursinya.
Kedua orang tersebut kemudian menghasut Brutus agar memimpin tim konspirator yang disebut sebagai Liberatores (pembebas). Setelah semua bersepakat, mereka menyusun rencana busuk untuk menggelar sidang Senator. Nantinya, di sana Caesar akan dipaksa membacakan sebuah petisi palsu yang mereka bikin sendiri.
Brutus bertugas untuk membujuk Caesar. Meski sempat beredar desas-desus yang tidak baik, Caesar akhirnya memutuskan datang.
Sebelumnya, sahabat Caesar Marcus Antonius mencoba menghalau di tangga forum dengan maksud agar Sang Kaisar kembali pulang dan mengabaikan tuntutan para senator pembelot tersebut. Namun, ketika hendak melewati Teater Pompey, para senator lain berhasil menggiringnya ke sudut ruangan yang bersebelahan dengan porsio timur.
Di dalam ruang sidang, Caesar segera dikelilingi sekitar 60 orang senator yang masing-masing telah membawa belati di balik jubah mereka. Para senator lalu dipaksa membacakan petisi palsu tadi yang isinya meminta ia mengembalikan mandat kekuasaan.
Ketika Caesar tengah membaca petisi tersebut di atas mimbar, salah seorang senator bernama Publius Servilius Casca menarik lengan sang kaisar, lalu menikam lehernya dengan sebilah belati. Sejurus kemudian, 23 senator lain ikut menikamnya. Terus dan terus. Caesar yang masih bertahan mencoba melarikan diri. Namun, dengan energi yang sudah nyaris habis dan darah yang bercucuran, upaya tersebut tak ada gunanya. Tikaman masih tak berhenti hingga akhirnya Caesar ambruk di lantai ruang majelis perundingan kerajaan, tepat di bawah patung Pompey. Persis sebelum napas terakhirnya, Caesar sempat menatap Brutus, lalu berkata: “Et tu, Brute?” yang artinya kurang lebih: “Kau juga, oh Brutus, anakku?”
Setelah Caesar terbunuh, Brutus dan rekan-rekan konspiratornya melarikan diri dari tempat kejadian dan bergegas kabur dari para penjaga istana Caesar. Namun, hasil konspirasi yang kini terkenal dengan istilah “Ides of March” itu malah menjerumuskan Roma ke dalam perang saudara baru. Dan menghancurkan republik untuk selamanya.
Reporter: Dinda Nurshinta