MATA INDONESIA, JAKARTA – Ahmadiyah sering dituding ajaran agama yang menyimpang. Menurut Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin saat masih menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), aliran tersebut mengakui seorang nabi selain Muhammad SAW yaitu Mirza Gulam Ahmad.
Ahmadiyah didirikan Mirza 23 Maret 1889. Sedangkan di Indonesia, masuknya ajaran itu bermula saat tiga pemuda bernama, Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan melanjutkan pendidikan agamanya di India. Mereka berasal dari Padang Panjang, Sumatra Barat.
Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin merupakan lulusan sekolah yang dikelola organisasi massa Islam, Sumatra Thawalib, sedangkan Zaini Dahlan lulusan Madrasah Darun Nabwah.
Pada Desember 1922, Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin berangkat ke India, sedangkan Zaini belum bisa ikut karena masih banyak hambatan.
Kepergian ke India atas saran guru mereka. Padahal, awalnya mereka ingin menuntut ilmu ke Mesir yang terkenal dengan Universitas Al Azharnya sebagai pusat studi Islam. Alasan guru mereka, India merupakan pusat pemikiran Islam Modern.
Singkat cerita, Zaini Dahlan akhirnya berhasil berangkat menuju India dan ketiganya berkumpul di Lucknow, India.
Setelah berkumpul, mereka ternyata tidak memutuskan menggali ilmu Islam di India, melainkan ke negara tetangganya, Pakistan di Islamic College, Lahore.
Mereka ke sana karena ingin bertemu imam sebuah masjid di London, Kwaja Kamaluddin. Namun, ketiga warga Nusantara tersebut tidak beruntung.
Mereka tidak bertemu idolanya, Kwaja Kamaluddin, tetapi wakilnya yang bernama Maulana Abdussatar seorang hafiz Quran.
Maulana inilah yang membuat mereka kagum karena cara mengajar ilmu Islamnya tanpa kitab tafsir sehingga berbeda dengan ulama-ulama lainnya. Ajaran-ajaran yang mereka terima itu di kemudian hari diketahui bernama Ahmadiyah.
Sampai akhirnya, ketiga pemuda itu melakukan bai’at bersama di tangan Maulana Muhammad Ali, salah seorang pemimpin Ahmadiyah Lahore pada Juli 1923. Sejak itulah mereka mengenal Ahmadiyah ditambah dengan kecintaan mereka terhadap Imam Mahdi.
Pergi ke Qadian
Menurut ajaran Ahmadiyah, Mirzha Gulam Ahmad menganggap dirinya sebagai Imam Mahdi. Ketiga pemuda asal Indonesia itupun ingin sekali mengunjungi tempat kelahiran dan makamnya sehingga keinginan itu disampaikan kepada Maulana Abdussatar.
Tak disangka, Maulana Abdussatar mengizinkan mereka berziarah ke Mirzha Gulam Ahmad dan memerintahkan pergi ke Qadian, sebuah kota kecil di Negara Bagian Punjab, India.
Namun, pimpinan Ahmadiyah Lahore, Dr. Muhammad Hussein marah dan melarang mereka pergi ke Qadian. Berkat keteguhan pendirian ketiganya, pimpinan Ahmadiyah Lahore pun akhirnya mengizinkan.
Di akhir tahun 1923, ketiganya berangkat dari Lahore menggunakan kereta api menuju Batala. Dari Batala, mereka naik delman ke Qadian. Mereka pun menjadi bangsa Indonesia pertama yang mengakui kebenaran Ahmadiyah.
Setelah sekian lama tinggal di asrama dan belajar di Qadian, mereka mengirim surat ke keluarga dan teman-temannya di Indonesia menceritakan pengalamannya belajar di Qadian. Berkat cerita mereka banyak teman-temannya tertarik dan ke Qadian belajar Ahmadiyah.
Penyebaran Ahmadiyah Pertama di Indonesia
Salah seorang ulama Ahmadiyah, Maulana Abdur Rahman Jat menganjurkan para pemuda Nusantara yang belajar di Qadian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II, anak Mirza yang menjadi penerus ayahnya ke wilayah Nusantara.
Namun, Hadhrat Khalifatul Masih II tidak pernah melakukan perjalanan ke arah Nusantara sehingga akhirnya mengirim mubaligh generasi pertama Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali HA.OT.
Dengan dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II, Maulana Rahmat Ali berlayar dari Kolkata, India menuju Nusantara.
Dia menginjakkan kaki di Sabang pada 2 Oktober 1925. Sebenarnya, tujuan Maulana Rahmat Ali adalah Tapak Tuan, namun dia tertahan di Sabang karena disangka akan menyebarkan paham komunisme.
Setahun kemudian, Maulana Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Tanah Minang. Setelah itu secara perlahan ajaran Ahmadiyah menyebar di Nusantara yang kini bernama Indonesia.(Annisaa Rahmah)