Dokter Relawan: Covid19 Tembus 1 Juta Karena Masyarakat Kalah dari Hoax

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Angka positif Covid19 di Indonesia yang sudah lebih dari 1 juta kasus menandakan masyarakat Indonesia kalah dari hoax soal virus dan penyakit itu. Selain itu, mereka malas memahami kasus yang sedang terjadi.

Hal tersebut diungkapkan dokter relawan Covid19, Muhammad Fajri Adda’i dalam sebuah pernyataan pers, Jumat 29 Januari 2021.

“Hoax dan disinformasi (soal Covid19–Red) sudah meluas sehingga masyarakat mulai mengabaikan protokol kesehatan,” ujar dr Fajri.

Akibatnya, masyarakat lelah karena tidak paham atau mungkin tidak memahami masalah yang sedang terjadi sekarang.

Kondisi masyarakat seperti itu, membuat rumah sakit penuh akibat kasusnya meningkat karena penyebaran Virus-SARS-Cov-2 semakin cepat difasilitasi masyarakat yang lelah dan tidak mau memahami situasi.

Menurut dr Fajri, seharusnya masyarakat aktif mencari informasi soal Covid19 yang kini tersebar di banyak media.

Jadi, jika di awal merebaknya virus tersebut masyarakat ketakutan akibat hoax yang juga merajalela, kini mereka menjadi abai justru karena hoax yang juga bertebaran.

Intinya, mereka sebenarnya tidak memiliki informasi yang cukup soal kondisi sesungguhnya dan mudah termakan hoax.

Dia menganjurkan pemerintah dan masyarakat bergerak bersama barulah pandemi ini bisa diatasi. Pemerintah melakukan testing, tracing dan treatment (isolasi), sedangkan masyarakat luas melaksanakan 5M yaitu memakai masker, menjaga jarak, menyuci tangan, menghindari kerumunan; menghindari sentuh mata, mulut dan hidung; serta menjaga kebersihan.

Tidak paham dengan kondisi yang terjadi saat ini. Seharusnya kita bersama-sama. Pemerintah wajib melaksanakan 3T dan masyarakat melaksanakan 5M. Supaya sama2 ambil bagian.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini