MATA INDONESIA, SEMARANG – Klaim big data yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden diragukan Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC.
CISSRec menemukan kejanggalan ketika melacak big data yang memuat 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024. Pelacakan big data ternyata menggunakan open source intelligence (OSINT) akun media sosial Twitter.
“Jadi, data dukungan melalui media sosial ini jelas tidak mungkin sekali. Karena pemakai aktif Twitter sekitar 15 juta,” kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Pratama Persadha, di Semarang, Selasa 12 April 2022.
Lagi pula, kata Pratama, yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode di kisaran 117.746 (tweet, reply, dan retweet). Sementara pemberitaan daring (online) tercatat 11.868 pengguna pada periode analisis, mulai 15 Februari hingga 15 Maret 2022.
Pratama yang juga dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini menyebutkan, data yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60 persen. Dan pro 16,40 persen. Sementara itu, pada media daring dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen.
Dari data ini saja, menurut dia, sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu. Pengambilan data tersebut kemudian muncul setelah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra.
Terdapat tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita, yaitu
- Agus Harimurti Yudhoyono (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) sebanyak 1.420
- Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem) sebanyak 555.
Sementara itu, tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak adalah Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) sebanyak 3.892 artikel berita. Setelah itu Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN).
Ada juga 10 organisasi yang pro penundaan pemilu, seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves. Adapun yang kontra sebanyak 71 organisasi, yaitu PPP, PDI Perjuangan, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan lainnya.
Menurut Pratama, berbeda bila 110 juta data ini mengambil pembicaraan dari Facebook (FB), Instagram, dan TikTok yang jumlah pemakainya relatif sangat banyak. Pemakai FB di Indonesia lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia.
“Namun, tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak peduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain,” kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Pratama menegaskan, sumber pengambilan data penundaan pemilu harus jelas. Bahkan, untuk mengambil data tersebut dengan survei juga hal yang sangat sulit, bahkan mustahil meskipun secara daring. Hal ini karena harus sesuai dengan usia, apalagi mencapai angka 110 juta warganet.
“Mengumpulkan dan membaca data FB, IG, dan WA tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya,” kata dia.
Ia mencontohkan Cambridge Analytica ketika membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit, dan pilihan warga Amerika Serikat menjelang Pilpres 2016. Namun, kata pakar keamanan siber ini, pada akhirnya setelah ini bocor menjadi kasus besar. Ini berujung pada makin ketatnya perlindungan data pribadi di Eropa dengan Regulasi Umum Perlindungan Data (General Data Protection Regulation/GDPR).