MATA INDONESIA, JAKARTA – Memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang jatuh setiap 8 Maret, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, diskriminasi pada kaum hawa harus hilang dari muka bumi.
Menurut Retno, ada dua hal besar yang harus diterapkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi pada perempuan. Pertama adalah kebijakan atau policy. Kebijakan yang dibuat di tempat harus memberikan kesempatan yang sama dengan antara perempuan dan laki-laki.
Kedua, diperlukannya dukungan keluarga dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pola pikir, budaya dan tradisi. Pada intinya, kata dia, tradisi, budaya, pola pikir, dari keluarga kecil sampai kepada masyarakat harus ikut mendukung mengenai masalah pemberdayaan perempuan.
“Diskriminasi tidak boleh terjadi. Pencegahan diskriminasi harus dibarengi dengan langkah afirmasi. Perempuan dapat ikut menjadi bagian solusi, agen toleransi, dan agen perdamaian,” ujarnya.
Perempuan adalah orang pertama atau orang paling dekat dengan anak yang menyuntikkan semua nilai kepada anak-anaknya. Perempuan harus kokoh memiliki nilai-nilai terkait dengan perdamaian hingga toleransi.
“Tidak boleh ada diskriminasi, harus ada langkah-langkah afirmasi agar kita bisa memberdayakan perempuan dan perempuan dapat menjadi solusi dari situasi apapun,” katanya.
Sebagai seorang perempuan, Retno tidak pernah bermimpi menjadi menteri. Sedikit bercerita, dia adalah anak dari keluarga yang sangat sederhana, namun mempunyai cita-cita yang tinggi. Mimpinya kala itu adalah menjadi seorang diplomat.
Dia tahu, pekerjaan yang diimpikannya itu adalah pekerjaan laki-laki. Maka dari itu, dia harus bekerja keras untuk menggapai cita-citanya itu.
“Sejak saya masih di bangku SMA, sudah pingin menjadi diplomat tapi saya tidak tahu caranya. Jadi yang paling mudah buat saya yaitu dengan memilih jurusan yang dekat dengan cita-cita saya itu, yakni jurusan Hubungan Internasional (HI),” ucapnya.
Retno bersyukur Kementerian Luar Negeri memiliki sistem meritokrasi yang baik. Pada akhirnya membuat orang seperti dirinya yang bukan siapa-siapa, perempuan, bisa masuk di dalam profesi diplomat sampai saat ini menjadi seorang Menlu.
“Oleh karena itu, sekali lagi, meritokrasi sistem yang sangat transparan akan sangat membantu siapapun untuk dapat bergabung atau dapat meraih cita-citanya, sekalipun perempuan. Intinya itu,” ungkapnya.