MATA INDONESIA, JAKARTA – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) harusnya menjadi solusi untuk para siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar di masa pandemi ini. Sayangnya, PJJ justru memunculkan permasalahan baru bagi kesehatan mental anak.
Psikolog Klinis, Indri Savitri mengatakan ada beberapa peran anak yang hilang dalam pengajaran PJJ ini, seperti penyesuaian terhadap sekolah, penguasaan keterampilan akademik, sosialisasi dengan teman sebaya, dan sebagainya.
Padahal, peran tersebut merangsang kesehatan mental anak yang ditandai dengan kemampuan belajar, memahami perasaan, mengekspresikan, serta mengelola emosi positif dan negatif.
Tidak hanya anak, peran orang tua juga berat. Mereka perlu menyesuaikan diri di masa pandemi dengan melihat kebutuhan anak dalam belajar. Orang tua juga harus melihat anak secara menyeluruh agar perkembangan anak optimal.
Menurut Indri, adaptasi terhadap PJJ menjadi hal yang mendasar dan jika terus dilanjutkan, perspektif kesehatan mental menjadi hal yang krusial dan perlu direalisasikan secara sistematik anatara anak, orang tua, para guru, dan sekolah maupun komunitas untuk menjaga kesehatan mental anak, juga pihak-pihak terkait.
Menurut survei yang diadakan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020. Sebanyak 13 persen responden mengalami tanda-tanda gangguan depresi ringan hingga berat selama panemi Covid-19. Presentase yang ditunjukan juga menunjukkan bila anak perempuan yang mempunyai tanda-tanda tersebut lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Hasil survei juga menunjukkan, semakin bertambahnya usia responden, kemungkinan mengalami tanda depresi juga semakin tinggi. Setidaknya 93 persen yang menunjukkan tanda gejala depresi berada pada rentang usia 14 hingga 18 tahun dan 7 persen berada di usia 10 hingga 13 tahun. Kebanyakan anak sudah merasa bosan terkurung di rumah, hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan tekanan belajar pada anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah kasus kematian yang diduga terkait dengan depresi anak selama PJJ, pertama dugaan anak mengalami depresi berat ditujukan karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19.
Salah satunya dialami oleh seorang siswa kelas 12 di sebuah sekolah Kabupaten Tanggerang yang mengalami depresi dan seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan juga siswa MTs di Tarakan, Kalmantan Utara yang bunuh diri dengan dugaan mengalami depresi selama PJJ.
Anak-anak yang dibatasi secara sosial diperparah oleh faktor lain, seperti ketidakmampuan anak mengikuti pelajaran, hingga kondisi ekonomi keluarga yang sulit akibat dari dampak pandemi membuat banyak anak mengalami gangguan depresi.
Padahal seharusnya anak perlu untuk bermain dan belajar secara sosial. Dr. Nova Riyanti Yusuf, seorang psikiater mengatakan, bagi kalangan anak hingga remaja, yang paling bermakna untuk dirinya adalah teman sebaya, bukan orang tua.
Saat anak remaja dipaksa untuk tumbuh tanpa teman sebaya, bisa dibayangan proses tersebut tidaklah normal. Untuk menghadapi itu, orang tua perlu memahami generasi Z dengan karakter mereka, diantaranya yang sangat aktif di media sosial.
Orang tua juga perlu membuka ruang komunikasi yang baik dengan anak. Jika melihat adanya perubahan perilaku pada anak, Nova menyarankan agar orang tua segera mencari bantuan profesional. Ke depannya, dampak PJJ pada masing-masing anak akan sangat bergantung pada kemampuan adaptasi mereka, sekolah-sekolah juga perlu untuk membuat tugas kelompok untuk menjaga interaksi sosial anak.
Reporter : Anggita Ayu Pratiwi