MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum. Setiap warga terikat hukum yang apabila dilanggar akan terkena sanksi, termasuk terhadap pencuri.
Namun berbeda dengan masyarakat yang mendiami Desa Boti, sebuah pemukiman yang terletak di Kecamatan Ki’e, Kabupaten Timor Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).
melangsungkan aksinya tidak akan mendapat hukuman.
Raja atau pemimpin desa akan memberi pencuri itu barang yang akan diambil sehingga diharapkan mereka tidak mencuri lagi, sebab mereka menilai seseorang terpaksa mencuri karena miskin.
Masyarakat Desa Boti beranggapan bahwa jika mereka menghukum pencuri, maka orang itu akan terus mencuri setelah menerima hukuman atau setelah barang curiannya habis digunakan.
Maka masyarakat Desa Boti biasanya akan mengumpulkan barang-barang dari seluruh kepala keluarga Desa Boti untuk diberikan ke pencuri.
Bahkan Raja Boti mengatakan bahwa di Desa Boti tidak pernah ada kasus pencurian, jika ada pencurian maka akan diberikan barang sesuai yang pelaku curi. Bahkan ketika warga tertangkap basah mencuri hasil kebun maka pencuri akan diberikan tanah agar bisa berkebun dan memiliki hasil sendiri.
Desa Boti mempunyai dua kategori untuk para pencuri, yakni pencuri besar dan pencuri kecil. Kedua kategori tersebut dibedakan berdasarkan konsekuensi hukuman yang berbeda.
Nah, pencuri kecil lah yang akan diberi modal untuk bisa hidup layak seperti warga desa lainnya. Sedangkan, pencuri besar akan diusir ke luar desa.
Desa Boti sejatinya adalah sebuah kerajaan yang rajanya kini bernama Usif Namah Benu. Desa itu masih menganut agama nenek moyang yang biasa disebut Halaika.
Seperti halnya masyarakat Baduy di Lebak, Banten, masyarakat suku Boti juga sangat kuat memegang ada istiadat nenek moyangnya.
Masyarakat setempat beranggapan, jika ada yang melakukan kesalahan maka alam akan menghukumnya, apakah dalam bentuk penyakit atau musibah lainnya.
Desa Boti juga memperlakukan alam dengan sangat baik. Bahkan apabila mereka menebang satu pohon harus menanam lima hingga sepuluh pohin untuk menggantinya.
Di Desa Boti anak-anak di lingkungan kerajaan dibagi menjadi dua, yakni anak-anak yang diperbolehkan untuk sekolah dan anak-anak yang tidak diperbolehkan sekolah namun diajarkan untuk meneruskan tradisi serta adat dari suku Boti.
Jika seorang ibu memiliki dua anak, maka satu orang dikirim untuk bersekolah di luar desa dan hanya seorang yang tinggal di desa untuk belajar adat istiadat.
Anak-anak yang tidak bersekolah ini diajarkan untuk memenuhi sandang dan papan seperti menanam, membuat minyak goring, memanen, dan memintal kapas untuk menenun. (Indah Suci Raudlah)