Jaga Kesehatan dengan Jamu, Minuman Tradisional yang Banyak Khasiatnya

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Jamu yang saat ini banyak dinikmati oleh bangsa Indonesia rupanya benar-benar warisan nenek moyang yang adiluhung. Karena konon jamu memang sudah dikenal luas dan diracik sejak zaman pra-sejarah. Hal ini terbukti dari adanya penemuan peralatan batu dari zaman Mesolitikum dan Neolitikum berupa lumpang yang biasa digunakan untuk meracik jamu.

Bahkan, kebiasaan meracik jamu, pemeliharaan kesehatan dan minum jamu juga ditemukan pada relief Karmawipangga di Candi Borobudur. Ada juga pada relief Candi Prambanan, Candi Penataran, Candi Bambang, Candi Sukuh dan Candi Tegalwangi, yang dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Buddha. Di Candi Sukuh ada relief orang menumbuk jamu.

Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak Cobek dan Ulekan –alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.

Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi “tukang meracik jamu” atau disebut Acaraki. Setelah mengenal budaya menulis, bukti sejarah mengenai penggunaan jamu semakin diperkuat, yaitu dengan ditemukannya USADA lontar di Bali yang ditulis menggunakan bahasa Jawa kuno.

Namun, pada masa tersebut, jamu masih digunakan oleh kalangan terbatas. Hingga akhirnya, banyak ahli botani yang mempublikasikan tulisan-tulisan mengenai ragam dan manfaat tanaman untuk pengobatan. Dengan demikian, jamu yang tadinya hanya merupakan milik kalangan terbatas, dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Untuk bukti tertulis lainnya mengenai ramuan jamu ditulis setelah abad pertengahan, antara lain Serat Centhini, yang ditulis tahun 1814 M dan Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, tulisan pengetahuan tentang Jamu Jawa, ditulis tahun 1858 memuat sebanyak 1734 ramuan jamu.

Orang Jawa juga punya primbon Betaljemur Adamakna, yang memuat mengenai jamu. Dari catatan pribadi juga banyak, bukan cuma masyarakat tapi juga bangsawan seperti putri keraton atau sultan.

Ditambah catatan orang Cina dan Belanda yang datang ke Indonesia dan mendokumentasikan jamu semakin menguatkan bahwa jamu adalah produk asli Indonesia. Lalu ada wanita Belanda Jans Kloppenburg-Versteegh mengamati perilaku dalam kehidupan masyarakat Jawa yang menyembuhkan penyakit dengan memakai ramuan bahan tradisional dari tanman dan hewan di lingkungan sekitar.

Ia mencatat lebih dari seribu jenis tanaman berkhasiat dan membuat buku dengan 1.467 resep pengobatan tradisional dengan bahan alami untuk berbagai macam penyakit seperti sakit kulit, sariawan, diare, ginjal dan diabetes.

Jamu umumnya digunakan masyarakat Indonesia sebagai minuman obat alami untuk menjaga kesehatan, serta menyembuhkan berbagai penyakit. Tradisi minum jamu ini diperkirakan sudah ada sejak 1300 M.

Jamu merupakan minuman berkhasiat dari Indonesia sebagai minuman kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Jamu disajikan dengan berbagai jenis tanaman herbal.

Di Indonesia, setiap daerah mempunyai jenis Jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan tanaman herbal yang tumbuh didaerahnya.

Mengolah Jamu juga tidak terlalu rumit, kebanyakan hanya mengambil sari dari perasan tumbuhan herbal. Ada juga dengan ditumbuk. Seringkali berbahan dasar kunyit, temulawak, lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Khusus gula jawa, gula batu, dan jeruk nipis biasanya digunakan sebagai penambah rasa segar dan rasa manis.

Uniknya, dalam pembuatan jamu juga disesuaikan takaran tiap bahan, suhu, lama menumbuk atau merebus, dan lainnya. Jika tidak diperhatikan dengan baik, akan kehilangan khasiat dari bahan-bahannya bahkan bisa membahayakan tubuh.

Begitu juga dengan perkembangannya, tradisi minum Jamu mengalami pasang surut sesuai zamannya. Secara garis besar terbagi dari zaman pra-sejarah saat pengolahan hasil hutan marak berkembang, zaman penjajahan jepang, zaman awal kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini.

Pada abad 17, di masa Kerajaan Hindu Mataram, putri-putri keraton kerap minum jamu untuk menjaga kesehatan dan kecantikan diri supaya terlihat awet muda dan cantik jelita.

Sejak saat itu, perempuan Indonesia pun lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan dalam mencari tumbuhan herbal alami.

Tidak hanya untuk kecantikan. Konon, di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan, selain berasal dari latihan, tapi juga dibantu dengan jamu.

Perlu diketahui, Jamu dipercaya berasal dari dua kata Jawa Kuno, yakni ‘‘jampi’ atau ‘usodo’ yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno zaman Jawa Kuno seperti pada naskah Gatotkaca Sraya, yang digubah oleh Mpu Panuluh pada jaman Kerajaan Kediri, di masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M.

Kemudian pada abad pertengahan, sekitar abad 15-16 Masehi, istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya, istilah jampi yang lebih populer dan digunakan di kalangan keraton. Nama jamu sendiri merupakan bahasa Jawa Tengah yang digunakan oleh masyarakat umum, diperkenalkan oleh dukun atau tabib-tabib pengobat tradisional.

Seiring perkembangannya, tradisi minum Jamu sempat mengalami penurunan. Tepatnya saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia. Saat itu kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia sehingga minat terhadap Jamu menurun. Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari Jamu pun turut dipertanyakan.

Pada masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1940-an, tradisi minum Jamu kembali populer karena telah dibentuknya komite Jamu Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan khasiat terhadap Jamu kembali meningkat. Berjalannya waktu, penjualan Jamu pun menyesuaikan dengan teknologi, diantaranya telah banyak dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau juga bubuk instan yang mudah diseduh. Saat itu berbenturan dengan menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan beralihnya ke dunia industri termasuk industri Jamu, salah satunya adalah Industri Fitofarmaka.

Tahun 1974 hingga 1990 banyak berdiri perusahaan Jamu dan semakin berkembang. Pada era itu juga ramai diadakan pembinaan-pembinaan dan pemberian bantuan dari Pemerintah agar pelaku industri Jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.

Sebenarnya, tradisi minum jamu ini tak hanya ada di Indonesia, hanya saja istilahnya berbeda. Misalnya, jamu di India yang disebut dengan ayurveda atau zhongyi dari India.

Jamu juga sempat populer di Eropa, tepatnya di abad pertengahan. Sayangnya, gereja katolik membakar para pembuat jamu atau herbalis karena mengasosiasikan mereka dengan sihir.

Reporter: Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Jelang Penetapan Kenaikan UMK 2025, KSPSI Gunungkidul Minta Kenaikan UMK Minimal 10%

Mata Indonesia, Gunungkidul - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Gunungkidul masih menunggu rapat koordinasi lanjutan penetapan besaran upah minimum kabupaten dan terus mengawal penetapan UMK 2025 di Kab. Gunungkidul agar mencapai target minimal 10%.
- Advertisement -

Baca berita yang ini