Baim Wong Daftarkan Citayam Fashion Week ke HAKI, Nikita Mirzani Ikut Beri Komentar

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Keptusan Baim Wong mendaftarkan Citayam Fashion Week menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) miliknya menuai berbagai macam reaksi negatif.

Reaksi tersebut salah satunya datang dari aktris Nikita Mirzani, dirinya tidak ingin tahu menahu tentang hal tersebut lantaran ia menilai Citayam Fashion Week ini hanya bersifat musiman.

“Ah bodo amat mau didaftarin HAKI kek mau apa kek,” ujarnya.

“Citayam Fashion Week itu hanya musiman, sekarang aja heboh, kita gatau nanti 2 bulan 3 bulan ke depan pasti akan hilang,” imbuhnya.

Ia juga menambahkan bahwa gemparnya fenomena Citayam Fashion Week sudah merupakan tipikal orang Indonesia yang selalu ingin ikut tren terkini.

“Orang Indonesia kan gitu, apa-apa yang heboh, apa-apa yang viral didatengin dipantengin,” katanya.

Lebih lanjut, Nikita Mirzani mengatakan kegatan Citayam Fashion Week tersebut tidak ada faedahnya, karena hanya melenggak-lenggok di zebracross semata.

“Karena apa? Mau ngapain lagi di situ? Cuma cat walk di zebracross aja kan? Gak ada apa-apa lagi kan acaranya?” katanya.

“Lama-lama orang akan bosen, cat walk di situ, balik lagi ntar ada lagi orang baru cat walk lagi. Nggak bisa bikin acara apa-apa juga di situ yang ada bikin macet,” pungkasnya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Gosip Terupdate (@rumpi_gosip)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini