Awal Mula Margarin yang Kini Dilarang di Beberapa Negara

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – 49 tahun yang lalu, tepatnya pada 3 Januari 1871, proses pembuatan margarin yang menggunakan kombinasi minyak nabati dengan lemak hewani dipatenkan pertama kali oleh Henry W. Bradley di Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya, margarin ditemukan pada tahun 1869 oleh seorang ahli kimia asal Prancis, Hippolyte Mege-Mouries. Saat itu, pemimpin Prancis, Kaisar Napoleon III membuat sayembara berhadiah untuk menghasilkan mentega murah alternatif yang dapat digunakan oleh kelas menengah ke bawah dan angkatan bersenjata. Mege yang tertarik kemudian melakukan eksperimen membuat margarin dengan menggabungkan lemak daging sapi dan susu skim.

Pada tahun 1871, Mege menjual penemuan margarinnya ke pengusaha Belanda, Jurgens, yang kemudian menjadi bagian dari Unilever. Margarin temuan Mege tersebut lalu dipasarkan dengan merek Flora Margarine.

Istilah margarin yang dikenal saat ini sebenarnya merupakan singkatan dari oleomargarine. Selama bertahun-tahun sejak konsepsi aslinya di abad ke-19, proses produksi dan resep untuk margarin telah mengalami banyak perubahan. Istilah margarin sekarang umumnya mengacu pada pengganti mentega atau olesan yang dibuat dengan proses pengerasan minyak nabati.

Pada awal abad ke-20, setelah adanya penemuan hidrogenasi, margarin dibuat dengan proses kimiawi di mana minyak nabati diubah menjadi lemak padat sehingga harganya menjadi relatif murah daripada menggunakan lemak hewani. Setelah itu, industri margarin tumbuh pesat sebagai alternatif mentega.

Namun, tidak seperti mentega, margarin memiliki warna putih yang terlihat tidak menarik sehingga perusahaan tempat produksi mulai mewarnai margarin secara artifisial menjadi kuning seperti mentega.

Penemuan minyak nabati terhidrogenasi tersebut menandai terciptanya lemak buatan manusia pertama yang disebut lemak trans, salah satu jenis lemak jenuh. Meskipun margarin memiliki jumlah lemak trans yang bervariasi, produk lemak trans murni pertama yang tersedia untuk dijual dipasarkan oleh Procter and Gamble.

Sejak itu, margarin terus berkembang sebagai pengganti mentega murah, dengan daya tarik tambahannya yaitu dapat dioleskan langsung dari lemari pendingin.

Pada tahun 1980-an, margarin mengubah citranya dari produk alternatif mentega yang murah menjadi produk makanan kesehatan. Lemak jenuh secara khusus merupakan pendorong utama penyakit jantung. Karena hal itu, banyak orang melakukan kampanye untuk melawan lemak jenuh di berbagai restoran cepat saji (yang biasanya menjual makanan penuh lemak).

Industri penghasil makanan kemudian memanfaatkan aksi masyarakat itu untuk melakukan pemasaran dengan mengganti margarin lemak jenuh menjadi margarin lemak tak jenuh. Penggantian tersebut didukung oleh banyak organisasi kesehatan masyarakat dan institusi medis internasional.

Sebagai tanggapan, perusahaan makanan cepat saji beralih ke minyak terhidrogenasi yang mengandung lemak trans, bukan lemak hewani (seperti lemak babi) dan minyak lemak jenuh lainnya.

Selain mendukung program kesehatan, perusahaan makanan cepat saji memilih minyak yang mengandung lemak trans karena dapat digunakan berkali-kali untuk menggoreng sehingga minyak tidak perlu sering diganti.

Berbagai margarin dan produk olahan yang mengandung lemak trans terus bertambah populer selama dekade berikutnya karena murah dan awet. Selain itu, membuat makanan yang diolah dengan cara dipanggang seperti biskuit dan kue kering memiliki umur simpan yang lebih lama.

Namun, pada awal 1990-an, penelitian medis mulai menemukan bahwa lemak trans sangat buruk bagi kesehatan. Meskipun sejumlah kecil lemak trans dapat ditemukan secara alami, lemak trans yang diproduksi secara industri dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai penyakit, seperti penyakit kardiovaskular dan kanker.

Lemak trans kemudian disebut sebagai makanan jahat murni yang tidak memiliki nutrisi positif dan meningkatkan kadar kolesterol jahat. Diketahui bahwa mengonsumsi lemak trans 5 gram per hari dikaitkan dengan peningkatan 23 persen risiko penyakit jantung koroner.

Sekitar 10 tahun kemudian, kebijakan pemerintah terkait lemak trans dan pedoman produksi pangan mulai berubah. Pada tahun 2003, Denmark menjadi negara pertama di dunia yang melarang penggunaan lemak trans pada produk makanan. Austria, Hongaria, Islandia, Norwegia, dan Swiss kemudian menetapkan pembatasan serupa yang melarang penggunaan lemak trans dalam produk makanan.

Pada tahun 2006, sebagai tanggapan atas tekanan dari kelompok dokter AS, Kota New York menyetujui undang-undang yang memandatkan pelarangan produk lemak trans dari berbagai restoran di kota. Tujuh tahun berikutnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menetapkan bahwa minyak terhidrogenasi tidak lagi masuk daftar Secara Umum Diakui Aman (GRAS) dalam makanan manusia.

Selama akhir abad ke-20, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik penggantian lemak jenuh dengan produk lemak trans dan margarin telah mengakibatkan peningkatan penyakit kardiovaskular.

Saat ini, margarin tidak lagi diproduksi melalui proses hidrogenasi sebagai bentuk pengakuan atas konsekuensi kesehatan yang merugikan dari lemak trans, melainkan dengan proses kimiawi yang menggabungkan berbagai bahan dan terkandung vitamin di dalamnya. Meskipun tampaknya sehat, produk olahan sebaiknya memang dihindari untuk konsumsi harian.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini